“Jika ingin pacaran, hati-hatilah memilih lelaki karena di dunia
ini semua lelaki sama saja.” Kata Nunung kepada Wiwik yang masih berpikir
tentang caranya mengenal cinta.
Wiwik, gadis
cantik yang belum pernah merasakan indahnya cinta. Selama ini kesehariannya hanya
sebatas mengurus keluarga dan dunia perkuliahan yang dijalani dengan serius.
Kepolosan dalam dirinya begitu terlihat, ia memang gadis cantik dan cerdas
namun status sebagai anak desa yang kurang mampu nyaris menutupi kelebihan pada
dirinya. Membanggakan kedua orang tua dengan kerja keras adalah impiannya.
Tak pernah
sedikitpun ia berniat mengenal cinta. Nyaris tak ada lelaki yang mendekatinya
karena di kampus ia hanya wanita biasa. Di mata lelaki, Wiwik hanya wanita yang
kurang pergaulan, tidak mencerminkan wanita pujaan mereka. Meskipun memiliki
kecerdasan tinggi ia masih saja terlihat biasa saja di mata teman-temannya. Ia
hanya sosok wanita yang jauh dari kesempurnaan wanita pada umumnya dan tak
ingin mengenal dunia percintaan karena hal itu dianggapnya akan mendatangkan
kerugian pada dirinya, itu alasan mengapa ia tak ingin mengenal cinta.
Sampai suatu saat
segala bentuk penilaiannya terhadap cinta berubah ketika bertemu sosok lelaki
sempurna di perpustakaan kampus. Kala itu ia sedang duduk nyaman di sebuah
kursi perpustakaan membaca buku yang menjadi bacaan kesukaannya. Ia menyukai
karya dari pengarang buku tersebut. Beberapa buku dengan pengarang yang sama menjadi
bacaan menarik tiap kali menginjakkan kaki di perpustakaan kampus. Wajah lelaki
itu muncul tepat di hadapannya. Ia menatap dalam pada lelaki itu. Peristiwa
saling tatap terjadi beberapa saat sebelum keduanya tersadar. Lelaki itu segera
menghampiri Wiwik yang dari tadi terlihat serius membaca buku kesukaannya.
“Halo, serius amat
baca bukunya. Oh ya nama kamu siapa?” tanya lelaki itu.
“Wiwik.” Jawaban
seadanya keluar dari mulutnya.
“Bagus ya namanya.
Sedang baca buku apa ?” Tanya lelaki itu untuk kedua kalinya.
“Novel Aku Ingin
Mengenal Cinta.” jawab Wiwik.
“Namaku Fikar.
Salam kenal ya.”
Usai
memperkenalkan diri Fikar melangkahkan kaki keluar dari perpustakaan. Wiwik
merasa heran ketika nama itu mendarat di telinganya. Rasa tak percaya namun
nyata. Ia mengumpulkan beberapa buku kesukaannya selama ini dan ia menemukan
sebuah nama dalam buku itu. Nama yang baru saja ia dengarkan tak lain adalah
pengarang buku tersebut. Semua terlihat nyata saat gambar wajah tampan dalam
beberapa profil pengarang terpampang rapi di belakang beberapa buku
kesukaannya. Ia tak menyangka bahwa yang ia temukan hari itu adalah pengarang
favoritnya yang diam-diam ia kagumi. Dalam buku memang tidak tercantum profil
tentang pendidikan Fikar. Darahnya seakan berhenti mengalir. Rasa gembira tak
terkira ia rasakan walau hanya sekejap saja.
Sejak kejadian di
perpustakaan Wiwik semakin gencar mencari buku karya lelaki yang telah
menghipnotisnya dan ia berhasil mengumpulkan puluhan buku dengan pengarang yang
sama yaitu Fikar. Ia menceritakan pengalamannya kepada sahabat tercintanya.
“Nunung, kemarin
aku bertemu dengan pengarang novel aku ingin mengenal cinta.” Wiwik begitu
semangat menceritakan peristiwa terindah dalam hidupnya.
“Maksud kamu Fikar?”
tanya Nunung.
“Iya Fikar, wah
tampan sekali dia. Aku semakin kagum kepadanya.”
“Aku tidak percaya
kalau Fikar ada disini. Kampus kita kan jauh dari kota, mana ada penulis
terkenal mampir kesini.” Nunung masih belum yakin dengan ucapan sahabatnya itu.
“Ya sudahlah kalau
kamu tidak percaya, yang jelas aku dibuat melayang olehnya.”
“Kamu jatuh cinta
padanya Wik?”
“Sepertinya.”
“Katanya kamu
tidak ingin mengenal cinta, hanya ingin konsentrasi menjalani pendidikan.”
“Kali ini berbeda
Nung, Fikar membuat aliran darahku seakan terhenti.
“Hati-hati Wik,
lelaki sekarang semuanya bejat. Jika marah mereka akan menyerang kita dengan
fisik. Mengandalkan kelemahan wanita. Lihat wajahku Wik, aku habis dianiaya
oleh pacarku hanya karena masalah sepele.” Nunung memperlihatkan luka di
wajahnya akibat pemukulan yang dilakukan kekasihnya.
“Aku tidak percaya
kalau semua laki-laki itu sama kerasnya seperti pacarmu.”
“Terserah kamu
Wik, aku peringatkan satu hal. Kamu harus selektif dalam memilih kekasih karena
jangan sampai kamu hanya dimanfaatkan kemudian setelah itu dibuang dengan luka
hati dan fisik. Ya sudah aku pulang dulu, lukaku semakin parah.” Nunung
mengakhiri percakapan kemudian melangkah pulang.
Penjelasan Nunung
membuatnya bingung. Ia mencoba menganalisa setiap perkataan yang dilontarkan
sahabatnya itu. Rasa takut mendera pikiran murninya. Selama ini Nunung adalah
tempat berbagi yang paling dipercayainya. Nunung tak pernah berbohong padanya,
pernyataannya selalu benar. Tak ingin larut dalam ketakutan segera ia bertemu
dengan sahabatnya itu untuk mencari kebenaran. Sesampainya disana ia mendengar
semua penjelasan yang keluar dari mulut sahabatnya. Semua telah dimengerti
namun ia ingin membuktikan perkataan sahabatnya itu.
Wiwik mulai
melupakan penulis itu. Ia mencoba tetap pada pendirian awalnya yaitu tak ingin
mengenal cinta. Namun di sela harinya bermunculan beberapa lelaki yang
menginginkannya. Beberapa lelaki telah berani mengatakan cinta untuk bisa
menjadi kekaihnya, namun semua ia tolak dengan tegas. Perasaan takut akan
kekerasan selalu datang ketika ada lelaki yang akan mendekatinya. Cerita Nunung
tak hanya sampai di situ, kali ini ia menceritakan pengalaman teman sekelasnya
yang baru saja dianiaya oleh kekasihnya. Akibat dari kekerasan itu tangannya
patah dan harus dirawat di rumah sakit. Saat itu semakin banyak kekerasan yang
dilakukan kaum lelaki terhadap kekasihnya semakin terlihat dan dekat di mata
Wiwik. Semua nyata. Semua lelaki di dunia ini sama, mengandalkan kekuatannya
sebagai bentuk penyelesaian masalah. Itu yang selalu muncul dalam benaknya
ketika ada lelaki yang hendak mendekatinya untuk menjai kekasih. Ia menutup
hatinya untuk hal itu meski terkadang merasa sedih karena beberapa lelaki yang
telah menyatakan cinta juga ia sukai namun kenyataan yang ia saksikan
membuatnya terkurung dalam ketakutan.
Fikar kembali
hadir dalam hari-harinya setelah sekian lama menghilang. Kembali ia bertemu
dengannya di perpustakaan kampus. Fikar tak segan-segan meminta Wiwik untuk bercerita
tentang apa yang telah dibaca dari buku karyanya. Obrolan keduanya menjadi
hiasan perpustakaan kampus hari itu.
Wiwik merasa
nyaman dekat dengan Fikar. Kelembutan tutur kata diperlihatkan lelaki tampan
itu. Hampir setiap hari mereka berdua menghabiskan waktu bersama di kampus. Tak
jarang Fikar mengantarnya saat pulang dari kampus. Sampai pada saatnya benih
cinta lahir dari hati Fikar. Ia kemudian menyatakan isi hatinya kepada Wiwik. Namun
perasaan takut masih tersimpan erat dalam hati Wiwik. Ia menolak Fikar sama
seperti beberapa lelaki sebelumnya. Fikar kecewa. Sejak itu tak terlihat lagi
kebersamaan keduanya. Fikar menjauh.
Penyesalan dalam
diri Wiwik membuatnya bingung. Ia segera menemui Nunung untuk meminta saran
atas apa yang telah ia alami. Namun pernyataan yang sama masih terucap dari
mulut Nunung. Semua lelaki di dunia ini sama, mengandalkan kekuatannya
sebagai bentuk penyelesaian masalah. Nunung tetap pada pendiriannya.
Kali ini Wiwik
mulai mencari tahu solusi agar segala ketakutannya itu sirna. Ia percaya bahwa
Fikar bukanlah lelaki yang tega menyakiti wanita dengan kekerasan. Ia percaya
Fikar adalah lelaki lembut. Ia mengumpulkan segala informasi ketika
kebersamaannya dengan Fikar. Hasilnya ia berani mencoba menaklukkan semua
ketakutan dalam dirinya. Segera ia menemui Fikar.
“Fikar, aku
berubah pikiran tentang perasaan cintaku padamu. Aku siap menjadi kekasihmu
karena aku percaya kamulah yang terbaik untukku.”
“Benarkah ? kamu
tidak takut bila suatu saat nanti aku memukulmu, melukaimu karena pertengkaran
hebat diantara kita?”
“Tidak, aku
percaya kamu akan selalu menjagaku dengan penuh kasih sayang. Meskipun sudah
banyak kenyataan yang kusaksikan selama ini namun aku yakin tidak semua lelaki
seperti itu.” Wiwik menjelaskan isi hatinya.
“Baiklah Wik, aku
siap jadi kekasihmu.”
Keduanya menjalani
hari-hari dengan penuh kebahagiaan. Rasa takut telah pergi jauh meninggalkan
jiwa Wiwik. Keyakinan hati membuat semua penghalang lenyap seketika.
Beberapa bulan
berlalu Wiwik dan Fikar menjalani harinya seperti biasa. Tak pernah ada
kekerasan yang terjadi ketika mereka berselisih. Kedewasaan cintalah yang
menguatkan mereka hingga akhirnya tali pernikahan mengikat keduanya.
Makassar, 3 April 2012