Oleh Irwandi Fahruddin
Cerita itu berawal ketika sy hendak mengambil alat musik dan ingin bertemu salah satu teman. Ban motor saya kempes. Bocornya ada 2. Biaya 30 ribu. Setelah itu saya mengatakan bahwa lebih baik ganti ban dan menanyakan biayanya. Si orang tua itu menyebut nominalnya sebesad 45 ribu. Karena tergolong harga baru karena sekitar 2 bulan lalu saya ganti ban harganya berbeda. Si orang tua lalu berkata: "Carimiki di tempat lain kalau ada yang jual di bawah harga itu, carimi juga kalau ada pres ban yang buka jam segini." Oh ya waktu itu sekitar pukul setengah 9 malam. Lalu saya menanggapi dan berkata: "Kalau press ban banyakji. Cuman saya tidak tau dimana semua yang buka jam segini." Akhirnya dia tersinggung lalu marah-marah. Marah dan marah.
Saya mencoba menanggapi dengan santai dan mencoba klarifikasi maksud dari perkataan saya tapi tetap dia tidak terima dan masih marah-marah. Memasang kembali ban saya masih dalam kondisi bocor. Dan mengatakan:
"KALAU ADA PRES BAN TERBUKA DI SEPANJANG JALAN INI POTONG TANGAN SAYA.". Saya lalu senyum dan minta maaf karena buat dia tersinggung. Tapi tetap tidak terima dan marah-marah karena memang saya batalkan untuk press ban di tempatnya. Saya lalu pergi dengan kondisi ban yang masih bocor. Alhasil tidak jauh dari situ ada 1 bengkel yang masih buka dan ban saya pun diganti. Ingin rasanya kembali ke bengkel semula untuk potong tangannya tapi saya berpikir pasti akan semakin parah kalau saya melayani emosi yang meledak dari orang tua itu. Saya akhirnya melanjutkan tujuan saya semula.
Pesan moral tulisan ini: Tidak Ada.
Tulisan ini buat kamu si Tukang Pres Ban Dalam yang emosian. Umurmu sudah tua. Rambutmu pun sudah putih. Tak pantaslah saya melawanmu adu mulut bahkan adu fisik. Kamu Lucu.
Palopo, 20 Oktober 2018.