Pagi memancarkan sebuah kehangatan lembut dari bibir keheningan,
meneguk secangkir kopi hangat dan sebatang rokok dengan asap mengepul membentuk
lekukan halus. Awan yang berbisik dalam lamunan ketika itu mendesak setetes
embun mengeluarkan suara, namun kepastian itu tak kunjung datang. Terlihat
sebuah pena menari dengan lembut diatas kertas, menunjukkan perjuangan melawan
ketidakpastian.
Hari itu seorang
pemuda sedang menikmati kehidupannya, sekalipun kesan tak sanggup selalu mendatanginya
setiap saat. Badrun yang semasa kecilnya sudah terlanjur miskin dan buta huruf
tapi bercita-cita menjadi penulis memiliki daya imajinasi yang tinggi. Ia baru
mengenal huruf sejak usianya 18 tahun. Saat itu juga ia berangan menjadi
penulis hebat. Banyak tulisan yang telah tertoreh dalam lembaran kehidupannya
namun seperti tak ada makna yang tersirat. Badrun hanya seorang yang
menumpahkan segala imajinasinya untuk dirinya sendiri, pena menari dengan
gerakan indah dibimbing oleh koreografer yang seakan profesional.
Besok adalah
penentuan kemampuan para penulis handal untuk menunjukkan karya-karya luar
biasa. Sebuah komunitas sastra mengadakan Lomba karya tulis dengan hadiah
menjanjikan, setiap pemenang akan diberi kesempatan menjadi penulis di salah
satu penerbit terkenal. Mendengar kabar itu Badrun tak mau ketinggalan, sesuai
janji kepada dirinya untuk menjadi seorang penulis ia ingin menunjukkan bahwa
kemampuannya tak boleh dianggap remeh.
Badrun
menghabiskan hari itu dengan menulis sebuah puisi yang sedari pagi terus
mengganggu pikirannya karena sudah berjam-jam ia duduk menghadapi kertas dan
pena tapi tak ada satupun kata yang tergores. Entah apa yang terjadi dengan
imajinasinya saat itu sehingga tak mampu berjuang merangkai kata dalam setiap
baitnya. Dalam lamunan panjang ia tak kuasa merangkai setiap jalan kehidupannya
sendiri, sehingga tangan imajinasinya seakan terputus. Badrun telah berada
dalam zona ketidaknyamanan yang luar biasa, ia juga tak mengerti mengapa hal
itu terjadi pada dirinya yang selama ini belum pernah ia rasakan sejak memulai
kebiasaan menulisnya. Pantang menyerah, ya itu yang sedang menggelora dalam
benak Badrun saat ini. Ia tak mau melewatkan sebuah kesempatan emas menjadi
seorang penulis seperti cita-cita yang sudah terukir erat dalam hati dan
jiwanya.
Dengan semangat
tinggi akhirnya Badrun menemukan tangga yang sudah lama hilang dalam bingkai
kehidupannya, tanpa komando pena telah menjadi kendaraan yang melaju sangat
kencang dibalik jalanan sunyi. Kemilau hati terpancar dari sang pelopor bait
karena rangkaian kehidupan berhasil ia raih dengan tangannya sendiri.
Sebuah puisi
dengan kata puitis telah selesai dengan sempurna, seperti biasanya Badrun
selalu memperlihatkan setiap karya yang baru selesai kepada seseorang yang
boleh dibilang mengerti dan pandai dalam hal tulis menulis. Pak Rus adalah
tetangga Badrun yang selama ini membimbing dengan ikhlas pemuda berkarakter pantang
menyerah tersebut. Melihat puisi baru Badrun, terlihat serius wajah tua Pak Rus
membaca dan menganalisa setiap kata yang tertuang dalam bait-bait. Setelah
melihat puisi baru dari Badrun Pak Rus terlihat kecewa karena ia merasa tulisan
ini tanpa makna. Mendengar kesimpulan itu Badrun tiba-tiba merasa dalam keadaan
benar-benar jauh dari kenyamanan yang terkontaminasi setumpuk virus
kegelisahan. Jiwa dan pikirannya kini tak searah melintasi alur setumpuk makna,
tak ada sedikitpun rasa senang menghampiri wajah yang penuh kegelisahan.
Tak mau disebut
penulis putus asa, Badrun dengan sisa semangat yang dari pagi melekat dalam
ruang kemanusiaannya beranjak meraih pena ditemani kertas putih yang siap untuk
tergores tinta emas. Dalam kancah kepenulisan Badrun memang belum pernah meraih
prestasi gemilang karena selama ini tulisannya hanya sebatas Pak Rus saja,
beberapa kali tetangga Badrun itu berusaha memamerkan karya muridnya tersebut kepada
media namun kegagalan selalu ditemui dalam setiap lembaran semangatnya
Lagi-lagi pemuda
pantang menyerah ini berhadapan dengan pasukan imajinatif yang selalu memburu kedahsyatan
sebuah amunisi berupa goresan kehidupan. Dalam renungan imajinasi ia berusaha
merangkai kata menjadi sebentuk bait sempurna. Waktu terus berjalan mengikuti
jejak langkah goresan syahdu, Keringat yang terlihat dari tubuh pencetus makna
menunjukkan betapa gigihnya sebuah perjuangan yang dihadapinya. Sekali lagi
karya yang dianggap sempurna oleh Badrun tak mampu mencapai titik luar biasa
karena Pak Rus melihat banyak kesalahan dari lingkaran pena itu. Kegelisahan
kini benar-benar menggerogoti aliran darah dari pemuda pantang menyerah ini, Ia
tak tau harus bagaimana lagi membuat seutas kata menjadi rantai bait yang
kokoh. Lagi dan lagi Badrun berusaha meyakinkan guru ikhlasnya itu bahwa ia
pantas menjadi seorang penulis yang diperhitungkan.
Saat itu Badrun
merenung sejenak, memperhatikan semua kesalahan yang membuatnya jatuh bangun.
Tumpukan buku yang ia baca untuk mengoreksi kesalahan yang ada dalam karyanya
menjadi saksi betapa luar biasa semangat yang dimiliki pemuda itu. Tanpa
berpikir panjang pena digerakkan oleh seorang yang sejenak terlihat hebat
karena telah menemukan cincin yang sudah lama hilang. Sebuah karya yang
terlahir dari sosok pantang menyerah menjadi kendaraan yang siap melaju dengan
kesempurnaan pengemudinya. Pak Rus yang dari tadi menunggu akhirnya bisa
tersenyum lebar melihat dan menganalisa karya anak muridnya tersebut. Tak mau
tertinggal waktu Pak Rus segera mengirim puisi tersebut kepada panitia lomba Karya
tulis yang berada tak jauh dari kediamannya.
Tiba saatnya
pengumuman karya terbaik dimana semua peserta hadir dan berharap usaha mereka
membuahkan hasil yang maksimal. Sepuluh puisi terbaik terucap dari mulut
penulis handal Indonesia Andrea Hirata yang kebetulan saat itu menjadi tim
penilai, sampai puisi kesembilan karya Badrun belum juga muncul kepermukaan.
Sempat ia merasakan keraguan besar karena melihat talenta luar biasa penulis
yang lain. Semangat pemuda pantang menyerah ini berkobar ketika karya yang
diselesaikan dengan jatuh bangun akhirnya berhasil mengantarnya menuju gerbang mimpinya.
Puisinya masuk dalam sepuluh besar. Dari sepuluh besar ini, penulis akan
membacakan karya mereka dan mengutarakan makna dibalik tulisan tersebut sebagai
bentuk penialaian. Mendengar pengumuman itu sontak Badrun kaget luar biasa
karena hal ini diluar perkiraannya. Ia tak tau harus bagaimana melewati tembok
berdinding baja berlapis lima pula. Ia kemudian mencari sosok tua yang telah
mengisi setiap lembaran kepenulisannya, ternyata Pak Rus sudah pulang ke
rumahnya karena ada sesuatu yang harus diselesaikannya. Satu demi satu para
penulis mengaplikasikan karya-karya mereka.
Kali ini giliran
Badrun yang akan membacakan karya sempurnanya itu, dengan perasaan gelisah luar
biasa ia merasa sedang berada dalam kobaran api mengelilingi tubuhnya. Tapi ia
tak mau menyerah, dengan kesungguhan ia melakukan apa yang seharusnya ia
lakukan tanpa memaksa dirinya untuk jatuh kedalam lubang kegagalan. Tim penilai
yang melihat cara Badrun menyampaikan makna dari karyanya itu merasa heran dan
aneh, karena yang terlihat hanyalah sebuah gerakan tanpa sepatah kata yang
terucap. Mereka semakin heran ketika Badrun memberikan hormat pertanda ia telah
selesai membacakan isi dan makna dari karyanya tersebut. Salah satu dari tim
penilai dengan rasa gembira luar biasa memberikan tepuk tangan dan mengatakan
pemuda ini sangat-sangat luar biasa. Ia kemudian berbincang dengan Badrun
dengan gaya gerakan tanpa sepatah kata yang membuat seluruh manusia yang hadir
pada saat itu memandang heran dengan tingkah mereka.
Beruntung Badrun
dipertemukan dengan sosok tim penilai yang mengerti dengan bahasa tubuhnya,
bahkan juri tersebut bersedia menjelaskan kepada khalayak tentang makna puisi
Badrun yang bercerita tentang dirinya sendiri dan dibacakan dengan bahasanya
sendiri. Karya dengan judul “Puisi Tanpa Kata” itu akhirnya menjadi nomor satu
dalam lomba karya cipta puisi.
Makassar
21 November 2011