Labels

Sunday, February 1, 2015

AKU DAN MUSIK


Aku masih ingat kalimat dari seseorang yang tidak aku kenal saat masih berumur 7 tahun. Waktu itu aku sedang berada di salah satu pasar yang ada di Kota Palopo bersama dengan ibuku. Tanpa sengaja mataku memandang ke arah sekumpulan orang yang sedang asyik dengan pekerjaannya. Aku segera meminta ibuku untuk melihat orang-orang yang sudah lama aku perhatikan itu. Ibu menyetujui permintaanku. Aku kagum saat menyaksikan mereka. Lima orang yang semangat melakukan pekerjaannya itu membuat ibuku terharu. Dua dari mereka memainkan instrumen gitar, satu orang memainkan alat musik ritmis berupa jimbe, sementara dua lainnya bernyanyi. Aku dan ibuku menyaksikan sebuah pertunjukan yang luar biasa. Mereka menghibur dengan kualitas, tak seperti para pelaku musik sekarang ini yang hanya menjual wajah untuk meraih popularitas. Para pengamen itu benar-benar menjual kualitasnya. Pemain gitar memainkan harmoni yang indah, tempo dari pemain jimbe juga teratur. Sementara kedua penyanyi membagi suara dengan harmoni yang luar biasa syahdu. Ibuku terharu melihat mereka karena lima orang itu semua penyandang cacat.
            Usai menyuguhkan pertunjukan, mereka tak memaksa meminta bayaran kepada pendengar. Beberapa tangan penuh keikhlasan menyodorkan beberapa lembaran uang kepada pengamen itu. Aku tak mau kalah menyodorkan sedikit uang yang masih tersimpan erat dalam saku celanaku. Aku memutuskan mendekati dan berbicara dengan mereka. Naluri masa kecilku menggiring semangat untuk bisa seperti mereka, memainkan musik dengan kualitas tinggi. Aku menanyakan tentang bagaimana mereka bisa sehebat itu bermain musik sementara mereka penderita cacat. Merasa heran aku melihat orang yang matanya tak bisa melihat mampu memainkan instrumen gitar dengan hebat. Harmoninya tak biasa, sangat berbeda dengan pemusik normal pada umumnya. Jawaban yang diberikan salah seorang dari pertanyaanku itu hanya singkat “Jangan pernah takut untuk belajar, apapun keinginanmu raihlah dengan tuntunan Tuhan.”
            Tiap kali mengingat kalimat dari pengamen saat aku masih kecil, semangatku begitu membara untuk meraih impianku. Aku menjalani masa kecilku penuh semangat dan diisi oleh naluri musikal dengan terus bernyanyi walaupun suara lumayan mengganggu telinga orang yang mendengarnya.
            Menginjak usia lima belasan aku sudah mulai mencoba mengenal alat musik. Saat itu sahabatku bernama Unjung yang juga sekolah di tempat yang sama memiliki gitar baru. Ia mengajakku ke rumahnya untuk memamerkan barang barunya itu. Ia juga memamerkan permainan gitarnya kepadaku dengan semangat. Ia menyanyikan sebuah lagu dari grup band Peterpan yang merajai musik Indonesia tahun 2004 silam. Usai menyanyikan sebuah lagu aku memintanya untuk memainkan lagu berikutnya, ternyata sahabatku itu belum bisa memainkan lagu yang lain. Ia adalah pemula.
            Naluri musikalku muncul kembali saat sering bermain bersama sahabatku itu. Aku mulai mempelajari alat musik gitar dengan semangat. Tak jarang gitar temanku berada di rumahku. Majalah musik khususnya majalah gitar menumpuk di meja belajarku. Bahkan waktu belajar materi sekolah sudah tak ada lagi. Akibatnya nilaiku merosot dan siraman rohani terlontar dari mulut ibuku. Menjelang ujian nasional aku dilarang keras bermain musik. Saat itu juga aku berhenti bermain musik selama enam bulan. Hari demi hari aku isi dengan belajar tanpa rasa peduli lagi terhadap musik. Impianku sudah hilang untuk menjadi pemusik hebat.
            Tapi semua berubah saat ujian nasional selesai. Kembali aku diperkenalkan dengan gitar, bahkan ayahku membelikan sebuah gitar merk Osmond untukku. Semangat membakar hampir seluruh jiwaku untuk menjadi seorang musisi handal. Hingga saatnya aku menginjakkan kaki di bangku SMA,  gitar menjadi sahabatku. Meski belum ada hasil yang aku peroleh dari musik tapi setidaknya gitar telah mengisi hariku. Menjelang akhir masa belajarku di SMA,  aku kembali mengenal dunia baru. Kembali aku diperkenalkan dengan alat musik. Kali ini alat musik keyboard menjadi incaranku. Aku jatuh cinta dengan alat musik ini karena nada yang dihasilkan lebih lembut dari gitar. Ternyata memainkan alat musik baru itu sungguh sangat sulit. Aku menyerah saat itu dan meninggalkannya begitu saja.
            Menjelang masa kuliah tiba, aku bingung harus kemana untuk melanjutkan pendidikanku. Semua keluarga menginginkan aku masuk ke Universitas Hasanuddin dengan mengambil jurusan yang bisa menghasilkan pekerjaan yang lumayan. Aku mulai berpikir karena tak satupun jurusan yang sesuai kemampuanku. Setelah berpikir lama aku memutuskan untuk tidak memilih perguruan tinggi yang sangat terkenal itu dan ternyata salah seorang guruku mengajakku masuk ke perguruan tinggi tempat belajarnya dahulu. Teman dan beberapa anggota keluarga tak menyetujui keinginanku masuk ke perguruan dan mengambil jurusan yang baru mereka kenal itu “apa yang kamu inginkan dari jurusan itu ? Apakah masa depanmu cerah dengan mengambil jurusan itu ? ” Kata salah seorang anggota keluargaku. Sempat aku merenungi kalimat yang keluar dari mulutnya. Aku menjadi dilema, tak tau harus bagaimana. Beruntung aku memiliki orang tua yang sangat pengertian. Mereka memberiku kebebasan dalam menentukan masa depanku, hatiku kini berubah menjadi putih kembali.
            Awal masuk kuliah adalah hal yang tak bisa kulupakan. Aku mendapatkan teman-teman yang sangat santun. Saat pertanyaan tentang alat musik yang dikuasai melayang kepadaku, aku menjawab bahwa gitar adalah alat musik yang sudah aku kuasai. Namun setelah pertanyaan kedua tentang teori gitar aku seolah berada dalam sebuah pengasingan tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu, aku semakin malu dan terpojok mendengar salah seorang yang mengatakan bahwa aku tak pantas masuk ke Fakultas Seni UNM jika tak mampu menguasai musik beserta teorinya. Aku merasa tertusuk duri mendengar perkataan itu. Aku mulai ragu melangkahkan kaki dalam perjalanan musikku. Bahkan notasi pun aku tidak begitu mengerti. Hatiku mengatakan bahwa sudah terlambat untuk belajar musik.
            Kembali aku teringat ucapan pengamen cacat saat aku masih kecil. Semangatku perlahan muncul kembali. Dorongan untuk belajar musik semakin menggebu dalam hati dan jiwaku. Saat suasana hatiku kembali, tiap hari aku sempatkan waktu luang untuk belajar musik di rumah teman. Aku belajar dari rumah ke rumah. Tak peduli apa kata mereka, sampai pada suatu saat kalimat panas mengusik indera pendengaranku. Salah seorang senior yang sudah hebat melayangkan kalimat bahwa aku tak pantas bermain musik, katanya aku tak lebih dari seorang mahasiswa yang tak tahu apa-apa. Memang permainanku masih dalam tahap pembelajaran begitu juga dengan teori tentang musik masih sebatas dasar saja. Hatiku menjerit kesakitan mendengar kalimat panas itu, sempat terpikir olehku untuk berhenti belajar musik. Mungkin benar perkataan orang itu bahwa kemampuanku tak akan meningkat.
            Seminggu lamanya aku tak pernah lagi bermain musik, belajar musik dari rumah ke rumah pun sudah tak kulakukan. Seminggu berlalu aku beranikan diri untuk belajar, namun rasa bosan dan takut terus menghantui kalbuku. Kejadian waktu masih duduk di bangku SMP kembali terulang. Enam bulan lamanya aku tak pernah belajar bermain alat musik. Aku lebih menyukai vokal kala itu karena vokal tak terlalu sulit. Aku memutuskan bergabung dalam kelompok paduan suara FSD UNM. Dua bahkan tiga kali sebulan kami diundang untuk mengisi acara diberbagai tempat.
            Enam bulan telah berlalu, aku semakin menikmati paduan suara yang membuatku tenang. Suatu waktu aku berkunjung ke rumah teman, hari itu aku melihat sebuah alat musik yang memiliki tuts warna hitam putih di atas meja. Merasa rindu dengan alat musik, aku mencoba memainkan Keyboard tersebut dengan nada tak beraturan. Maklum belum ada ilmu tentang alat musik ini yang hinggap dalam otakku. Entah mengapa aku begitu menyukai alat musik ini, bunyi yang dihasilkan begitu lembut. Setelah mengenal keyboard, hampir setiap hari aku bertandang ke rumah temanku itu. Kembali semangat berkobar untuk bermain musik. Doaku selalu adalah semoga tak ada lagi sesuatu yang membuatku patah semangat dalam bermusik.
            Ternyata harapan dan doaku didengar Tuhan, tak ada lagi yang mengusik semangatku. Ilmu pengetahuanku tentang musik semakin bertambah, pujian dari beberapa teman membuat semangatku semakin berkobar. Teori musik dan permainan musik sudah tak menjadi momok menakutkan lagi. Aku memutuskan memperdalam ilmu untuk keyboard. Segala jerih payahku membuahkan hasil. Aku jadi sering mengisi panggung musik di berbagai acara. Imbalan yang aku terima lumayan untuk menambah biaya hidup. Hingga sekarang aku masih aktif bermusik dan menghasilkan karya-karya dari musik. Aku akan terus berusaha meraih mimpiku seperti yang dikatakan salah seorang pengamen waktu aku masih kecil dulu “Jangan pernah takut untuk belajar, apapun keinginanmu raihlah dengan tuntunan Tuhan.”
            Makassar, Desember 2

No comments:

Post a Comment