Aku masih ingat kalimat dari seseorang yang tidak aku kenal saat
masih berumur 7 tahun. Waktu itu aku sedang berada di salah satu pasar yang ada
di Kota Palopo bersama dengan ibuku. Tanpa sengaja mataku memandang ke arah
sekumpulan orang yang sedang asyik dengan pekerjaannya. Aku segera meminta
ibuku untuk melihat orang-orang yang sudah lama aku perhatikan itu. Ibu
menyetujui permintaanku. Aku kagum saat menyaksikan mereka. Lima orang yang
semangat melakukan pekerjaannya itu membuat ibuku terharu. Dua dari mereka
memainkan instrumen gitar, satu orang memainkan alat musik ritmis berupa jimbe,
sementara dua lainnya bernyanyi. Aku dan ibuku menyaksikan sebuah pertunjukan
yang luar biasa. Mereka menghibur dengan kualitas, tak seperti para pelaku
musik sekarang ini yang hanya menjual wajah untuk meraih popularitas. Para
pengamen itu benar-benar menjual kualitasnya. Pemain gitar memainkan harmoni
yang indah, tempo dari pemain jimbe juga teratur. Sementara kedua penyanyi
membagi suara dengan harmoni yang luar biasa syahdu. Ibuku terharu melihat
mereka karena lima orang itu semua penyandang cacat.
Usai menyuguhkan
pertunjukan, mereka tak memaksa meminta bayaran kepada pendengar. Beberapa
tangan penuh keikhlasan menyodorkan beberapa lembaran uang kepada pengamen itu.
Aku tak mau kalah menyodorkan sedikit uang yang masih tersimpan erat dalam saku
celanaku. Aku memutuskan mendekati dan berbicara dengan mereka. Naluri masa
kecilku menggiring semangat untuk bisa seperti mereka, memainkan musik dengan
kualitas tinggi. Aku menanyakan tentang bagaimana mereka bisa sehebat itu
bermain musik sementara mereka penderita cacat. Merasa heran aku melihat orang
yang matanya tak bisa melihat mampu memainkan instrumen gitar dengan hebat.
Harmoninya tak biasa, sangat berbeda dengan pemusik normal pada umumnya.
Jawaban yang diberikan salah seorang dari pertanyaanku itu hanya singkat
“Jangan pernah takut untuk belajar, apapun keinginanmu raihlah dengan tuntunan
Tuhan.”
Tiap kali mengingat
kalimat dari pengamen saat aku masih kecil, semangatku begitu membara untuk
meraih impianku. Aku menjalani masa kecilku penuh semangat dan diisi oleh
naluri musikal dengan terus bernyanyi walaupun suara lumayan mengganggu telinga
orang yang mendengarnya.
Menginjak usia
lima belasan aku sudah mulai mencoba mengenal alat musik. Saat itu sahabatku bernama
Unjung yang juga sekolah di tempat yang sama memiliki gitar baru. Ia mengajakku
ke rumahnya untuk memamerkan barang barunya itu. Ia juga memamerkan permainan
gitarnya kepadaku dengan semangat. Ia menyanyikan sebuah lagu dari grup band
Peterpan yang merajai musik Indonesia tahun 2004 silam. Usai menyanyikan sebuah
lagu aku memintanya untuk memainkan lagu berikutnya, ternyata sahabatku itu
belum bisa memainkan lagu yang lain. Ia adalah pemula.
Naluri musikalku
muncul kembali saat sering bermain bersama sahabatku itu. Aku mulai mempelajari
alat musik gitar dengan semangat. Tak jarang gitar temanku berada di rumahku.
Majalah musik khususnya majalah gitar menumpuk di meja belajarku. Bahkan waktu
belajar materi sekolah sudah tak ada lagi. Akibatnya nilaiku merosot dan
siraman rohani terlontar dari mulut ibuku. Menjelang ujian nasional aku
dilarang keras bermain musik. Saat itu juga aku berhenti bermain musik selama
enam bulan. Hari demi hari aku isi dengan belajar tanpa rasa peduli lagi
terhadap musik. Impianku sudah hilang untuk menjadi pemusik hebat.
Tapi semua berubah
saat ujian nasional selesai. Kembali aku diperkenalkan dengan gitar, bahkan
ayahku membelikan sebuah gitar merk Osmond untukku. Semangat membakar hampir
seluruh jiwaku untuk menjadi seorang musisi handal. Hingga saatnya aku
menginjakkan kaki di bangku SMA, gitar
menjadi sahabatku. Meski belum ada hasil yang aku peroleh dari musik tapi
setidaknya gitar telah mengisi hariku. Menjelang akhir masa belajarku di SMA, aku kembali mengenal dunia baru. Kembali aku
diperkenalkan dengan alat musik. Kali ini alat musik keyboard menjadi
incaranku. Aku jatuh cinta dengan alat musik ini karena nada yang dihasilkan
lebih lembut dari gitar. Ternyata memainkan alat musik baru itu sungguh sangat
sulit. Aku menyerah saat itu dan meninggalkannya begitu saja.
Menjelang masa
kuliah tiba, aku bingung harus kemana untuk melanjutkan pendidikanku. Semua
keluarga menginginkan aku masuk ke Universitas Hasanuddin dengan mengambil
jurusan yang bisa menghasilkan pekerjaan yang lumayan. Aku mulai berpikir
karena tak satupun jurusan yang sesuai kemampuanku. Setelah berpikir lama aku
memutuskan untuk tidak memilih perguruan tinggi yang sangat terkenal itu dan ternyata
salah seorang guruku mengajakku masuk ke perguruan tinggi tempat belajarnya
dahulu. Teman dan beberapa anggota keluarga tak menyetujui keinginanku masuk ke
perguruan dan mengambil jurusan yang baru mereka kenal itu “apa yang kamu inginkan
dari jurusan itu ? Apakah masa depanmu cerah dengan mengambil jurusan itu ? ”
Kata salah seorang anggota keluargaku. Sempat aku merenungi kalimat yang keluar
dari mulutnya. Aku menjadi dilema, tak tau harus bagaimana. Beruntung aku memiliki
orang tua yang sangat pengertian. Mereka memberiku kebebasan dalam menentukan
masa depanku, hatiku kini berubah menjadi putih kembali.
Awal masuk kuliah adalah
hal yang tak bisa kulupakan. Aku mendapatkan teman-teman yang sangat santun.
Saat pertanyaan tentang alat musik yang dikuasai melayang kepadaku, aku
menjawab bahwa gitar adalah alat musik yang sudah aku kuasai. Namun setelah
pertanyaan kedua tentang teori gitar aku seolah berada dalam sebuah pengasingan
tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu, aku semakin
malu dan terpojok mendengar salah seorang yang mengatakan bahwa aku tak pantas
masuk ke Fakultas Seni UNM jika tak mampu menguasai musik beserta teorinya. Aku
merasa tertusuk duri mendengar perkataan itu. Aku mulai ragu melangkahkan kaki
dalam perjalanan musikku. Bahkan notasi pun aku tidak begitu mengerti. Hatiku
mengatakan bahwa sudah terlambat untuk belajar musik.
Kembali aku
teringat ucapan pengamen cacat saat aku masih kecil. Semangatku perlahan muncul
kembali. Dorongan untuk belajar musik semakin menggebu dalam hati dan jiwaku.
Saat suasana hatiku kembali, tiap hari aku sempatkan waktu luang untuk belajar
musik di rumah teman. Aku belajar dari rumah ke rumah. Tak peduli apa kata
mereka, sampai pada suatu saat kalimat panas mengusik indera pendengaranku.
Salah seorang senior yang sudah hebat melayangkan kalimat bahwa aku tak pantas
bermain musik, katanya aku tak lebih dari seorang mahasiswa yang tak tahu
apa-apa. Memang permainanku masih dalam tahap pembelajaran begitu juga dengan
teori tentang musik masih sebatas dasar saja. Hatiku menjerit kesakitan
mendengar kalimat panas itu, sempat terpikir olehku untuk berhenti belajar
musik. Mungkin benar perkataan orang itu bahwa kemampuanku tak akan meningkat.
Seminggu lamanya
aku tak pernah lagi bermain musik, belajar musik dari rumah ke rumah pun sudah
tak kulakukan. Seminggu berlalu aku beranikan diri untuk belajar, namun rasa
bosan dan takut terus menghantui kalbuku. Kejadian waktu masih duduk di bangku
SMP kembali terulang. Enam bulan lamanya aku tak pernah belajar bermain alat
musik. Aku lebih menyukai vokal kala itu karena vokal tak terlalu sulit. Aku
memutuskan bergabung dalam kelompok paduan suara FSD UNM. Dua bahkan tiga kali
sebulan kami diundang untuk mengisi acara diberbagai tempat.
Enam bulan telah
berlalu, aku semakin menikmati paduan suara yang membuatku tenang. Suatu waktu
aku berkunjung ke rumah teman, hari itu aku melihat sebuah alat musik yang
memiliki tuts warna hitam putih di atas meja. Merasa rindu dengan alat musik,
aku mencoba memainkan Keyboard tersebut dengan nada tak beraturan. Maklum belum
ada ilmu tentang alat musik ini yang hinggap dalam otakku. Entah mengapa aku
begitu menyukai alat musik ini, bunyi yang dihasilkan begitu lembut. Setelah mengenal
keyboard, hampir setiap hari aku bertandang ke rumah temanku itu. Kembali
semangat berkobar untuk bermain musik. Doaku selalu adalah semoga tak ada lagi
sesuatu yang membuatku patah semangat dalam bermusik.
Ternyata harapan
dan doaku didengar Tuhan, tak ada lagi yang mengusik semangatku. Ilmu
pengetahuanku tentang musik semakin bertambah, pujian dari beberapa teman
membuat semangatku semakin berkobar. Teori musik dan permainan musik sudah tak
menjadi momok menakutkan lagi. Aku memutuskan memperdalam ilmu untuk keyboard.
Segala jerih payahku membuahkan hasil. Aku jadi sering mengisi panggung musik
di berbagai acara. Imbalan yang aku terima lumayan untuk menambah biaya hidup.
Hingga sekarang aku masih aktif bermusik dan menghasilkan karya-karya dari musik.
Aku akan terus berusaha meraih mimpiku seperti yang dikatakan salah seorang
pengamen waktu aku masih kecil dulu “Jangan pernah takut untuk belajar, apapun
keinginanmu raihlah dengan tuntunan Tuhan.”
Makassar,
Desember 2
No comments:
Post a Comment