Labels

Sunday, February 1, 2015

PUISI TANPA KATA


Pagi memancarkan sebuah kehangatan lembut dari bibir keheningan, meneguk secangkir kopi hangat dan sebatang rokok dengan asap mengepul membentuk lekukan halus. Awan yang berbisik dalam lamunan ketika itu mendesak setetes embun mengeluarkan suara, namun kepastian itu tak kunjung datang. Terlihat sebuah pena menari dengan lembut diatas kertas, menunjukkan perjuangan melawan ketidakpastian.
            Hari itu seorang pemuda sedang menikmati kehidupannya, sekalipun kesan tak sanggup selalu mendatanginya setiap saat. Badrun yang semasa kecilnya sudah terlanjur miskin dan buta huruf tapi bercita-cita menjadi penulis memiliki daya imajinasi yang tinggi. Ia baru mengenal huruf sejak usianya 18 tahun. Saat itu juga ia berangan menjadi penulis hebat. Banyak tulisan yang telah tertoreh dalam lembaran kehidupannya namun seperti tak ada makna yang tersirat. Badrun hanya seorang yang menumpahkan segala imajinasinya untuk dirinya sendiri, pena menari dengan gerakan indah dibimbing oleh koreografer yang seakan profesional.
            Besok adalah penentuan kemampuan para penulis handal untuk menunjukkan karya-karya luar biasa. Sebuah komunitas sastra mengadakan Lomba karya tulis dengan hadiah menjanjikan, setiap pemenang akan diberi kesempatan menjadi penulis di salah satu penerbit terkenal. Mendengar kabar itu Badrun tak mau ketinggalan, sesuai janji kepada dirinya untuk menjadi seorang penulis ia ingin menunjukkan bahwa kemampuannya tak boleh dianggap remeh.
            Badrun menghabiskan hari itu dengan menulis sebuah puisi yang sedari pagi terus mengganggu pikirannya karena sudah berjam-jam ia duduk menghadapi kertas dan pena tapi tak ada satupun kata yang tergores. Entah apa yang terjadi dengan imajinasinya saat itu sehingga tak mampu berjuang merangkai kata dalam setiap baitnya. Dalam lamunan panjang ia tak kuasa merangkai setiap jalan kehidupannya sendiri, sehingga tangan imajinasinya seakan terputus. Badrun telah berada dalam zona ketidaknyamanan yang luar biasa, ia juga tak mengerti mengapa hal itu terjadi pada dirinya yang selama ini belum pernah ia rasakan sejak memulai kebiasaan menulisnya. Pantang menyerah, ya itu yang sedang menggelora dalam benak Badrun saat ini. Ia tak mau melewatkan sebuah kesempatan emas menjadi seorang penulis seperti cita-cita yang sudah terukir erat dalam hati dan jiwanya.
            Dengan semangat tinggi akhirnya Badrun menemukan tangga yang sudah lama hilang dalam bingkai kehidupannya, tanpa komando pena telah menjadi kendaraan yang melaju sangat kencang dibalik jalanan sunyi. Kemilau hati terpancar dari sang pelopor bait karena rangkaian kehidupan berhasil ia raih dengan tangannya sendiri.
            Sebuah puisi dengan kata puitis telah selesai dengan sempurna, seperti biasanya Badrun selalu memperlihatkan setiap karya yang baru selesai kepada seseorang yang boleh dibilang mengerti dan pandai dalam hal tulis menulis. Pak Rus adalah tetangga Badrun yang selama ini membimbing dengan ikhlas pemuda berkarakter pantang menyerah tersebut. Melihat puisi baru Badrun, terlihat serius wajah tua Pak Rus membaca dan menganalisa setiap kata yang tertuang dalam bait-bait. Setelah melihat puisi baru dari Badrun Pak Rus terlihat kecewa karena ia merasa tulisan ini tanpa makna. Mendengar kesimpulan itu Badrun tiba-tiba merasa dalam keadaan benar-benar jauh dari kenyamanan yang terkontaminasi setumpuk virus kegelisahan. Jiwa dan pikirannya kini tak searah melintasi alur setumpuk makna, tak ada sedikitpun rasa senang menghampiri wajah yang penuh kegelisahan.
            Tak mau disebut penulis putus asa, Badrun dengan sisa semangat yang dari pagi melekat dalam ruang kemanusiaannya beranjak meraih pena ditemani kertas putih yang siap untuk tergores tinta emas. Dalam kancah kepenulisan Badrun memang belum pernah meraih prestasi gemilang karena selama ini tulisannya hanya sebatas Pak Rus saja, beberapa kali tetangga Badrun itu berusaha memamerkan karya muridnya tersebut kepada media namun kegagalan selalu ditemui dalam setiap lembaran semangatnya
            Lagi-lagi pemuda pantang menyerah ini berhadapan dengan pasukan imajinatif yang selalu memburu kedahsyatan sebuah amunisi berupa goresan kehidupan. Dalam renungan imajinasi ia berusaha merangkai kata menjadi sebentuk bait sempurna. Waktu terus berjalan mengikuti jejak langkah goresan syahdu, Keringat yang terlihat dari tubuh pencetus makna menunjukkan betapa gigihnya sebuah perjuangan yang dihadapinya. Sekali lagi karya yang dianggap sempurna oleh Badrun tak mampu mencapai titik luar biasa karena Pak Rus melihat banyak kesalahan dari lingkaran pena itu. Kegelisahan kini benar-benar menggerogoti aliran darah dari pemuda pantang menyerah ini, Ia tak tau harus bagaimana lagi membuat seutas kata menjadi rantai bait yang kokoh. Lagi dan lagi Badrun berusaha meyakinkan guru ikhlasnya itu bahwa ia pantas menjadi seorang penulis yang diperhitungkan.
            Saat itu Badrun merenung sejenak, memperhatikan semua kesalahan yang membuatnya jatuh bangun. Tumpukan buku yang ia baca untuk mengoreksi kesalahan yang ada dalam karyanya menjadi saksi betapa luar biasa semangat yang dimiliki pemuda itu. Tanpa berpikir panjang pena digerakkan oleh seorang yang sejenak terlihat hebat karena telah menemukan cincin yang sudah lama hilang. Sebuah karya yang terlahir dari sosok pantang menyerah menjadi kendaraan yang siap melaju dengan kesempurnaan pengemudinya. Pak Rus yang dari tadi menunggu akhirnya bisa tersenyum lebar melihat dan menganalisa karya anak muridnya tersebut. Tak mau tertinggal waktu Pak Rus segera mengirim puisi tersebut kepada panitia lomba Karya tulis yang berada tak jauh dari kediamannya.
            Tiba saatnya pengumuman karya terbaik dimana semua peserta hadir dan berharap usaha mereka membuahkan hasil yang maksimal. Sepuluh puisi terbaik terucap dari mulut penulis handal Indonesia Andrea Hirata yang kebetulan saat itu menjadi tim penilai, sampai puisi kesembilan karya Badrun belum juga muncul kepermukaan. Sempat ia merasakan keraguan besar karena melihat talenta luar biasa penulis yang lain. Semangat pemuda pantang menyerah ini berkobar ketika karya yang diselesaikan dengan jatuh bangun akhirnya berhasil mengantarnya menuju gerbang mimpinya. Puisinya masuk dalam sepuluh besar. Dari sepuluh besar ini, penulis akan membacakan karya mereka dan mengutarakan makna dibalik tulisan tersebut sebagai bentuk penialaian. Mendengar pengumuman itu sontak Badrun kaget luar biasa karena hal ini diluar perkiraannya. Ia tak tau harus bagaimana melewati tembok berdinding baja berlapis lima pula. Ia kemudian mencari sosok tua yang telah mengisi setiap lembaran kepenulisannya, ternyata Pak Rus sudah pulang ke rumahnya karena ada sesuatu yang harus diselesaikannya. Satu demi satu para penulis mengaplikasikan karya-karya mereka.
            Kali ini giliran Badrun yang akan membacakan karya sempurnanya itu, dengan perasaan gelisah luar biasa ia merasa sedang berada dalam kobaran api mengelilingi tubuhnya. Tapi ia tak mau menyerah, dengan kesungguhan ia melakukan apa yang seharusnya ia lakukan tanpa memaksa dirinya untuk jatuh kedalam lubang kegagalan. Tim penilai yang melihat cara Badrun menyampaikan makna dari karyanya itu merasa heran dan aneh, karena yang terlihat hanyalah sebuah gerakan tanpa sepatah kata yang terucap. Mereka semakin heran ketika Badrun memberikan hormat pertanda ia telah selesai membacakan isi dan makna dari karyanya tersebut. Salah satu dari tim penilai dengan rasa gembira luar biasa memberikan tepuk tangan dan mengatakan pemuda ini sangat-sangat luar biasa. Ia kemudian berbincang dengan Badrun dengan gaya gerakan tanpa sepatah kata yang membuat seluruh manusia yang hadir pada saat itu memandang heran dengan tingkah mereka.
            Beruntung Badrun dipertemukan dengan sosok tim penilai yang mengerti dengan bahasa tubuhnya, bahkan juri tersebut bersedia menjelaskan kepada khalayak tentang makna puisi Badrun yang bercerita tentang dirinya sendiri dan dibacakan dengan bahasanya sendiri. Karya dengan judul “Puisi Tanpa Kata” itu akhirnya menjadi nomor satu dalam lomba karya cipta puisi.
                                                                        Makassar 21 November 2011
           
           

PERSAHABATAN EMPAT SISI


Menjadi pribadi yang super disukai banyak orang memang sedikit sulit, kemana-mana harus dalam keadaan sempurna. Simbol persatuan dalam satu rasa satu jiwa juga menjadi prioritas utama kehidupan ini. Itulah yang dijunjung tinggi empat orang sahabat yakni satu hati, satu jiwa, dan satu nyawa.
            Mereka adalah Nani, Cinta, Andin dan Ayu. Nani dengan segala kesempurnaan yang melekat pada dirinya telah menjelma menjadi bintang di mana saja. Di kampus ia adalah jawara dalam setiap ajang kecantikan, prestasi kuliah pun lumayan bagus. Selalu ceria adalah prinsip utama Nani, menjalani hidup dengan santai. Cinta, orangnya super culun tapi gaul, begitu pendapat orang-orang tentangnya. Kecerdasan yang dimiliki membuat ketiga sahabatnya tak pernah hidup dalam kesesengsaraan dalam bidang akademik, karena Cinta selalu siap membantu sahabat-sahabatnya itu. Andin memiliki sikap keras hati, tak mau mengalah dan juga bergaya layaknya seorang lelaki. Jika kerap perkelahian terjadi dialah yang menjadi leader untuk sahabat-sahabatnya. Sementara Ayu dengan wajah manis dan pandai dalam hal memasak sehingga ketiga sahabatnya tak pernah merasa kelaparan, ide briliannya dalam memasak seringkali membuat takjub.
Hari itu mereka tengah berada dalam satu wadah yang sama, dengan rasa senang yang meluap melewati batas logika. Semua yang hadir di tempat itu telah terhipnotis oleh ujian kehidupan yang luar biasa. Minuman keras, seks, bahkan narkoba sudah menjadi hal biasa. Dengan rasa bangga mengakar dalam benaknya karena merasa berhasil menaklukkan dan melupakan berbagai masalah dalam hidup mereka. Tangan dan kaki lebih ringan menjalani roda kehidupan ketika mereka memasuki tempat para pelopor kehancuran tersebut. Semua senang. Keempat sahabat ini menganggap pergaulan yang mereka jalani adalah anugerah tak terhingga dari Tuhan disamping anugerah kecantikan yang mereka miliki. Kekuatan kesombongan juga mengakar dalam perilaku mereka, tak ada orang yang lebih pantas merasa sempurna selain mereka.
            Awalnya mereka datang ke tempat itu karena merasa bosan dengan aktivitas kuliah yang padat, katanya untuk menyegarkan pikiran. Dengan semangat yang tinggi mereka masuk kemudian memesan beberapa botol minuman yang sebenarnya dilarang untuk dikonsumsi. Musik dengan tempo cepat mengalun, membuat pendengarnya selalu ingin terbang melayang dibalut dansa khas.
            Cinta, Andin dan Ayu saat itu tidak sedang dirundung masalah, mereka berangkat dengan hati seriang-riangnya. Sementara Nina cukup memiliki masalah komplit dimana kekasih tercintanya bermain api dengan cewek matre kelas kakap di kampusnya. Orang tuanya juga memiliki masalah yang hampir sama dengan dirinya. Kedua orang tuanya baru kemarin resmi berpisah karena masing-masing dari mereka sudah punya kekasih.
            Sudah satu jam mereka berada di tempat tersebut, puluhan botol telah habis di tenggak oleh wajah-wajah penuh kenikmatan. Merasakan kesenangan yang luar biasa. Sementara Nina meskipun dalam kondisi serasa melayang bayangannya tetap tak luput dari masalah yang sedang dihadapainya. Terutama masalah dengan kekasihnya. Lelaki yang sangat ia cintai bernama Aldo.
“ Begitu mudah lelaki brengsek itu terpengaruh oleh rayuan si cewek matre itu.” Katanya sambil memegang gelas yang berisi minuman terlarang.
“Sudahlah Nin tidak usah dipikirkan, di luar sana masih banyak lelaki yang lebih tampan dan baik sepertinya.” Bisik Cinta.
“Pokoknya malam ini semua masalah selesai sampai disini, semua akan kita buang jauh-jauh. Jadi jangan lagi ada diantara kita yang pikirannya tertuju kepada masalah-masalah yang tidak berguna itu. Ok Sister.” Ucap Andin sambil sedikit teriak.
            Ucapan ketiga sahabatnya membuat hati Nina sedikit lega, ia merasa untuk apa memikirkan sesuatu yang sudah terjadi dan sulit bahkan tak mungkin kembali lagi. Dengan segala keresahan hati yang berubah menjadi kesenangan malam itu membuat Nina sedikit melupakannya. Namun perasaan itu tak bertahan lama, dalam keramaian bersenang-senang muncul dihadapannya sosok yang jika memandangnya selalu ingin muntah. Ya, lelaki itu datang menggandeng seorang wanita yang membuat hubungannya dengan Nina kandas. Sejenak hati Nina seakan diterjang badai Tsunami terbesar, disambar kilatan cahaya kesedihan.
            Melihat hal itu ketiga sahabat Nina spontan emosi karena menganggap wanita itu perusak segalanya. Dengan langkah penuh kobaran emosi Cinta, Andin dan Ayu menghampiri dua insane yang sedang dilanda asmara itu.
“Hei perempuan nakal, untuk apa kamu datang kesini ? Pasti kamu sengaja datang kesini untuk pamer kepada khalayak bahwa kamu berhasil merebut hati lelaki paling tampan dikampus.” Teriak Andin.
“Kalian pikir ini tempat nenek moyang kalian  apa, kami berdua memiliki hak untuk datang ketempat ini. Jadi jangan pikir kalian adalah penguasa. Jangan terlalu bangga.” Wanita itu membela diri.
“Dasar perempuan gila,” Emosi Andin sambil mendorong perempuan itu.
            Aldo terlihat bingung menghadapi persoalan ini, ia hanya diam saja menyaksikan pertengkaran perempuan yang dalam keadaan emosi. Perkelahian tak bisa dihindari, perempuan itu dikeroyok oleh tiga orang yang masih dalam pengaruh emosi dan dalam keadaan mabuk pula. Beruntung Aldo dengan sigap mampu menyelamatkan kekasih barunya itu dan pergi dari tempat itu.
“Tampaknya aku juga harus membalas semua rasa sakitku ini kepada Aldo terutama kekasihnya.” Bisik Nina dalam hati.
            Suasana kembali sedikit reda setelah Aldo dan kekasihnya pergi, mereka berempat berjanji akan menghancurkan perempuan itu dengan cara apapun. Tekad mereka malam itu sudah bulat. Dalam satu situasi mereka memutuskan untuk pulang dan berjalan melewati ruangan yang didalamnya terlihat banyak lelaki dan perempuan sedang meracik asmara. Tanpa sengaja mata Nina menangkap sebuah pemandangan buruk, membuat hatinya tersayat. Rasa perih luar biasa menancap dalam nuraninya. Perasaan sadarnya sulit menerima semuanya. Ketiga sahabatnya yang juga menyaksikan pemandangan itu semakin panas walaupun tempat tersebut dilengkapi pendingin ruangan. Empat mata sedang menyaksikan dua insan sedang asyik bergulat dalam asmara penuh gairah.
            Nina, Cinta, Andin dan Ayu semakin diselimuti rasa emosi, pemandangan buruk maha dahsyat terekam dalam pandangan mereka. Tanpa komando mereka segera melangkah menuju sebuah kamar yang didalamnya dua insan sedang asyik memadu kasih. Sosok iblis telah merasuki jiwa dan pikiran mereka, keempat sahabat ini segera melabrak Aldo dan kekasih barunya. Dengan penuh emosi mereka berjalan menuju tempat tidur dimana Aldo dan kekasihnya sedang memadu kasih, mereka langsung memukuli perempuan yang mereka anggap telah merusak kebahagiaan Nina. Aldo berusaha menenangkan situasi, belum sempat bergerak sebuah pisau kecil tiba-tiba menancap diperutnya. Entah darimana Nina mendapatkan barang itu. Setelah Aldo selesai Nina bergegas menuju perempuan yang sedang disiksa oleh ketiga sahabatnya. Tanpa pikir panjang Nina menancapkan pisau kecil ke perut perempuan itu dengan cara yang sama ketika ia menusuk Aldo. Darah dua insan ini menyatu dalam sebuah pisau. Keduanya tewas malam itu. Malam itu menjadi malam yang menakutkan bagi keempat sahabat ini. Untuk pertama kali dalam sejarah hidup mereka menghilangkan nyawa dua orang sekaligus.
            Suasana di tempat hiburan itu semakin ramai dengan datangnya petugas yang bermaksud menyelidiki penyebab kematian dua orang itu. Mereka sudah mengetahui dari saksi yang ada bahwa penyebab hilangnya nyawa Aldo dan kekasihnya adalah empat orang perempuan dengan nama Nina, Cinta, Andin dan Ayu. Petugas segera diarahkan untuk mencari empat orang tersebut.
            Kini Nina, Cinta, Andin dan Ayu dalam kondisi yang sangat sulit. Ada hasrat untuk segera menyerahkan diri, namun mereka berpikir tak ada yang bisa menyelamatkan mereka dari kasus ini. Pikiran empat sahabat ini semakin buta, lebih baik mati daripada hidup dipenuhi kesalahan.
Dengan tekad yang sudah bulat mereka memutuskan untuk naik ke atas sebuah gedung tinggi.mereka membentuk sebuah lingkaran kecil sambil berpelukan kemudian berteriak “satu rasa, satu hati, satu jiwa, dan satu nyawa “ dan secara bersama-sama terjun ke bawah dengan masih membentuk sebuah lingkaran empat sisi. “SATU RASA, SATU HATI, SATU JIWA, DAN SATU NYAWA.
                                                                       


GERAK IMPIAN


Impian Vita adalah ingin menjadi penari professional yang dikenal luas oleh masyarakat. Terlahir dari keluarga seniman semakin menambah gejolak jiwanya untuk menggapai impiannya itu. Semangat tinggi adalah modal awalnya. Ia ingin memulai karirnya sejak dini. Di usianya yang kini baru menginjak 13 tahun dengan sangat yakin mampu mengembangkan bakatnya sebagai penari. Vita meminta kepada kedua orang tuanya untuk mengikutkannya ke sanggar tari yang membina para penari pemula hingga yang sudah hebat. Wajah penuh senyum bahagia terlahir dari ketulusan orang tuanya ketika ia mengucapkan permintaannya. Mereka kini tak perlu khawatir akan kehilangan rutinitas kesenian jika suatu saat sudah tak mampu lagi bergulat dengan dunia seni, lahirnya gagasan Vita siap menjadi generasi penerus mereka.
            Vita bergabung dalam salah satu sanggar seni terkemuka di Kota Makassar. Menjadi anggota Sanggar Bintang Makassar adalah kebanggaan luar biasa, tak terkecuali Vita. Ia merasa sudah dekat dengan impiannya. Latihan demi latihan dijalaninya dengan serius, walau kadang mendapat kritik yang menerjang namun ia tak begitu peduli. Sebelum masuk dalam Sanggar Bintang, Vita diberi nasehat oleh orang tuanya untuk bias menerima segala kritik yang bias saja dilayangkan kepada dirinya. Tanpa kritik seseorang tak akan pernah mengetahui kekurangannya. Hal itu selalu diingat olehnya ketika sebuah atau bahkan ribuan kritik menyerangnya.
            Sebentar lagi pementasan besar akan dilaksanakan oleh pemerintah kota. Dalam rangka menyambut hari jadi Kota Makassar akan dilaksanakan pementasan seni budaya. Sanggar Bintang diberi kepercayaan menjadi pengisi acara khusus untuk seni tari. Karena besarnya kepercayaan Sanggar Bintang melakukan seleksi ketat terhadap penari yang akan ikut dalam perayaan akbar tersebut.
            Mendengar adanya seleksi yang akan dilakukan Sanggar Bintang membuat riang hati Vita. Ia bertekad menunjukkan kemampuannya dalam pentas besar nanti. Ia yakin akan terpilih menjadi salah satu penari yang mewakili Sanggar Bintang.
            “Hari ini saya akan melakukan seleksi untuk pementasan besar HUT Kota Makassar. Yang akan menjadi penari bukan hanya kalangna dewasa tapi anak-anak dan remaja juga memiliki kesempatan yang sama.” Ujar pelatih tari Sanggar Bintang.
            “Bentuk penyeleksiannya bagaimana pak?” Vita bertanya karena ingin mengetahui proses seleksi.
            “Saya sudah memiliki nama-nama yang akan ikut dan proses seleksi adalah saat kalian semua latihan. Selama latihan itulah yang menjadi penilaian saya.” Pelatih mempertegas ucapannya.
            “Jadi siapa yang akan ikut Pak Indra?” Vita sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa yang akan beruntung mendapat kesempatan menari di pentas besar nanti.
            Satu demu satu nama disebutkan oleh Pak Indra. Terlihat beberapa senyum cerah dari wajah yang terpilih. Luapan rasa gembira menggema sehingga nyaris merusak indera pendengar. Semua nama telah disebutkan, beberapa dari mereka senang luar biasa, tak sedikit pula sedih karena tak terpilih.
            Kesedihan mendalam dirasakan Vita. Ia tak terpilih menjadi penari dalam pementasan besar. Ia mencurahkan segala isi hatinya kepada ibunya. Sedihnya mendadak lenyap kala mendengar petuah yang keluar dari mulut ibunya. Vita jadi lebih memahami tentang hakikat kegagalan.
            “Gagal bukan berarti kalan nak. Ada keberhasilan yang telah menunggumu, kamu harus siap mencapainya dengan usahamu sendiri.” Ucapan ibunya membangkitkan kembali semangat Vita yang hampir saja pudar.
            Pentas besar usai digelar, Vita hadir saat itu. Semangatnya telah pulih kembali. Ia mulai menyusun kembali kepingan dirinya yang sempat terpisah. Latihan demi latihan ia jalani dengan serius. Vita tak hanya latihan di sanggar, ia juga sering latihan bersama ibunya. Ibunya sebagai seorang penari yang cukup dikenal luas di Sulawesi membuat Vita merasa nyaman latihan bersama.
            Menginjak usia 16 tahun Vita masih belum mampu melenggang di atas panggung pertunjukan. Kemampuannya masih dianggap kurang. Selama tiga tahun berlatih di Sanggar Bintang, tak pernak sekalipun ia mendapat kesempatan menari di atas pentas. Kesabaran yang dimiliknya membuat ia terus berjalan meraih mimpinya. Tiga tahun mengenal dunia seni tari dan tak pernah merasakan kemegahan panggung pertunjukan menjadi niali tersendiri bagi dirnya. Ia tak pernah merasa putus asa. Selain belajar di Sanggar Bintang, Vita juga bergabubg dengan tiga sanggar seni yang ada di Makassar. Ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan kemampuannya.
            Menginjak bangku SMA Vita menerima pelajaran berharga. Saat itu ia terpilih menjadi salah satu penari yang akan mewakili sekolahnya dalam festival tari. Ia menjalani latihan demi latihan dengan sungguh-sungguh karena ini pertama kalinya ia akan merasakan hangatnya panggung pertunjukan. Namun saat hari pementasan tiba, Vita mengalami gangguan kesehatan, ia diopname dan tak bias ikut dalam pementasan. Sedih dan kecewa berpadu satu, hatinya remuk karena kesempatan emas lewat begitu saja tanpa mau kembali. Kembali Vita diberi semangat oleh ibunya. Perlahan ia mampu bangkit dari keterpurukan dan menjalani dunia kesenian dengan tekun.
            Vita telah menyelesaikan masa studinya di SMA dengan nilai memuaskan. Ia terpilih menjadi siswa terbaik. Nasib pendidikannya tak sama dengan nasib keseniannya. Lima tahun bergelut dalam dunia seni tari anmun tak pernah sekalipun ia merasakan tampil menari di atas panggung. Vita merasa aneh dengan dirinya namun ia juga harus percaya pada kenyataan. Sabar adalah senjata ampuh, itu yang selalu dipegang teguh olehnya. Ia tak pernah jenu menjalani latihannya di sanggar, walau tak pernah terpilih ia selalu mengatakan akan terus belajar dan belajar. Proses patut untuk dihargai, walau memakan waktu ribuan tahun.
***
            Sepuluh tahun sudah Vita bergelut dalam dunia seni tari. Ia menjadi lebih dewasa dalam berpikir dan bertindak. Meski belum pernah merasakan gemerlapnya menari di atas panggung pertunjukan ia lebih mampu mengtanalisa kemampuannya. Gagal tampil tak jadi soal, yang terpenting adalah ia telah mengambil ilmu dari setiap apa yang telah dilakukannya dalam dunia seni.
            Perasaan senang tak terhingga muncul menyeruak dari dalam jiwanya ketika ia ditawarkan oleh sahabatnya untuk ikut dalam sebuah festival tari. Vita merasa bangga memiliki empat orang sahabat yang selalu menemaninya dalam suka maupun duka. Mereka berlima akhirnya membentuk sebuah grup tari dengan nama Spenzas. Mereka akan berkompetisi dengan penari di seluruh Sulawesi Selatan. Kesungguhan menjadi pilihan mereka. Vita sangat bahagia karena untuk pertama kalinya selama bergelut di dunia seni tari ia akan merasakan dengan nyata menari di atas panggung yang megah.
            Festival tari tingkat Sulawesi Selatan telah tiba. Semua penari menunjukkan kekompakan dan keindahan untuk memikat hati para dewan juri. Spenzas yang digawangi oleh Vita, Intan, Berlian, Reinhard dan Soleh berhasil mengundang perhatian penonton. Sebuah pertunjukan luar biasa mereka perlihatkan. Usai pertunjukan, teriakan histeris dan tepuk tangan meriah menghiasi pertunjukan Spenzas. Para dewan juri untuk pertama kalinya berdiri tepuk tangan dan mengacungkan jempol untuk mereka. Kelima sahabat ini merasa sangat senang diperlakukan seperti itu. Firasat juara merasuki jiwa mereka. Hingga pengumuman tiba ternyata firasat mereka terjawab dan benar mereka menjadi juara pertama dalam festival besar itu. Kebahagiaan mereka tak hanya sampai disitu, Vita terpilih menjadi penari terbaik pilihan juri. Rasa haru menyelimuti mereka. Vita menangis haru menerima penghargaan luar biasa itu. Spensaz terpilih mewakili Sulawesi Selatan di ajang Festival Tari Nasional.
            Ajang Festival Tari Nasional menjadi impian Spenzas. Intan bertekad meraih gelar juara dari ajang tersebut. Vita memiliki pendapat yang sama diikuti oleh Berlian, Soleh dan juga Reinhard. Kelima sahabat itu menjalani latihan serius oleh arahan ibu dan ayah Vita. Ibunya menjadi koreografer dan ayahnya menjadi pemusik, sebuah kerja sama yang indah. Selama tiga bulan penuh proses latihan dilaksanakan. Mereka akan tampil di Jakarta.
            Festival Tari Nasional telah berlangsung sekitar satu jam. Spenzas masih menunggu giliran pentas. Semua peserta menari dengan sangat bagus. Histeria penonton membuat mereka gugup namun tetap percaya diri. Nama Spenzas telah dipanggil untuk menampilkan tariannya. Mereka tampil dengan sempurna. Kejadian di Makassar terulang kembali,penonton dan dewan juri terpana melihat penampilan mereka. Rasa bangga kembali merasuki relung jiwa mereka berlima. Firasat juara kembali hadir di balik gemuruh penonton.
            “Vita, aku yakin kita juara.” Ujar Intan dengan nada semangat.
            “Iya aku optimis kejadian di Makassar bias terulang kembali disini.” Berlian menambahkan.
            “Semangat adalah segalanya, optimis itu harus.” Vita memberi sedikit bumbu semangat.
            “Tekad menjadi pilihan, bukankah begitu?” dengan terbahak Reinhard menyegarkan suasana.
            “Mari kita songsong dunia baru.” Soleh menambahkan.
            “Kita pasti bias.” Mereka berlima berteriak secara bersama di ruang ganti belakang panggung.
            Butuh waktu dua jam untuk menunggu pengumuman karena jumlah peserta yang banyak sehingga dewan juri perlu waktu menilai setiap penampilan. Vita mengisi waktu dengan membaca buku sementara keempat sahabatnya berdiskusitentang masa depan mereka kelak.
            Para juri telah menyelesaikan tugasnya dan penguman akan segera dilaksanakan. Gedung pertunjukan menjadi hening saat pembawa acara menyebutkan para juara.
            “Hadirin sekalian, pertunjukan telah selesai, semua peserta menunjukkan kemampuannya dalam gerak yang indah. Akan ada empat kategori juara yaitu Juara satu, dua, tiga dan juara harapan satu. Maka dari itu juri memutuskan dengan berbagai pertimbangan bahwa yang menjadi terbaik ketiga adalah grup Sisi dari Jakarta.” Pembawa acara mengumumkan dengan jelas.
            “Selanjutnya, juara kedua jatuh pada grup JB Art dari Jawa Barat.” Diringi teriakan penonton.
            “Jawara kita malam ini adalah Beautiful Dance dari Palembang.” Suara teriakan histeris dari penonton membuat telinga terasa perih.
            “Yang terakhir adalah juara harapan satu jatuh pada Spenzas dari Sulawesi Selatan.”
            Vita, Intan, Berlian, Reinhard dan Soleh berteriak histeris mendengar nama grup mereka disebutkan. Walau tak mampu meraih juara pertama mereka menganggap harapan satu adalah luar biasa karena mampu mengalahkan puluhan peserta lainnya. Seluruh grup penari yang menjadi juara dipersilahkan naik ke atas panggung menerima hasil kerja keras mereka. Dengan penuh rasa bangga Spenzas berjalan menuju panggung.
            “Para hadirin, ini adalah para pemenang malam ini. Beri tepuk tangan untuk mereka. Semoga tetap jaya dalam dunia kesenian.” Pembawa acara tersebut melanjutkan pengumumannya.
            “Setelah pengumuman pemenang maka akan diumumkan pula penari terbaik mala mini. Dan orang beruntung itu adalah, adalah.” Mencoba membuat penasaran penonton. “Dia adalah Vita dari Spenzas Sulawesi Selatan.” Kembali terdengar tepuk tangan yang sangat meriah dari para penonton.
            Vita merasa tak percaya dengan pengumuman malam itu bahwa ia menjadi penari terbaik dalam Festival Tari Nasional. Rasa haru menyelimutinya. Keempat sahabat, ayah dan ibunya memeluk erat tubuh Vita malam itu. Tangis haru dan pelukan hangat menghiasi pertunjukan malam itu. Vita menerima penghargaan itu dengan penuh rasa bangga dan haru. Penantiannya selama sepuluh tahun telah terjawab. Segala usaha dan doanya berhasil. Buah dari kesabarannya adalah mendapatkan yang terbaik. Kini dalam genggamannya ada gerak yang indah, yakni gerak impian.
Tombang, Luwu. 14 Mei 2012