Labels

Sunday, February 1, 2015

PUISI TANPA KATA


Pagi memancarkan sebuah kehangatan lembut dari bibir keheningan, meneguk secangkir kopi hangat dan sebatang rokok dengan asap mengepul membentuk lekukan halus. Awan yang berbisik dalam lamunan ketika itu mendesak setetes embun mengeluarkan suara, namun kepastian itu tak kunjung datang. Terlihat sebuah pena menari dengan lembut diatas kertas, menunjukkan perjuangan melawan ketidakpastian.
            Hari itu seorang pemuda sedang menikmati kehidupannya, sekalipun kesan tak sanggup selalu mendatanginya setiap saat. Badrun yang semasa kecilnya sudah terlanjur miskin dan buta huruf tapi bercita-cita menjadi penulis memiliki daya imajinasi yang tinggi. Ia baru mengenal huruf sejak usianya 18 tahun. Saat itu juga ia berangan menjadi penulis hebat. Banyak tulisan yang telah tertoreh dalam lembaran kehidupannya namun seperti tak ada makna yang tersirat. Badrun hanya seorang yang menumpahkan segala imajinasinya untuk dirinya sendiri, pena menari dengan gerakan indah dibimbing oleh koreografer yang seakan profesional.
            Besok adalah penentuan kemampuan para penulis handal untuk menunjukkan karya-karya luar biasa. Sebuah komunitas sastra mengadakan Lomba karya tulis dengan hadiah menjanjikan, setiap pemenang akan diberi kesempatan menjadi penulis di salah satu penerbit terkenal. Mendengar kabar itu Badrun tak mau ketinggalan, sesuai janji kepada dirinya untuk menjadi seorang penulis ia ingin menunjukkan bahwa kemampuannya tak boleh dianggap remeh.
            Badrun menghabiskan hari itu dengan menulis sebuah puisi yang sedari pagi terus mengganggu pikirannya karena sudah berjam-jam ia duduk menghadapi kertas dan pena tapi tak ada satupun kata yang tergores. Entah apa yang terjadi dengan imajinasinya saat itu sehingga tak mampu berjuang merangkai kata dalam setiap baitnya. Dalam lamunan panjang ia tak kuasa merangkai setiap jalan kehidupannya sendiri, sehingga tangan imajinasinya seakan terputus. Badrun telah berada dalam zona ketidaknyamanan yang luar biasa, ia juga tak mengerti mengapa hal itu terjadi pada dirinya yang selama ini belum pernah ia rasakan sejak memulai kebiasaan menulisnya. Pantang menyerah, ya itu yang sedang menggelora dalam benak Badrun saat ini. Ia tak mau melewatkan sebuah kesempatan emas menjadi seorang penulis seperti cita-cita yang sudah terukir erat dalam hati dan jiwanya.
            Dengan semangat tinggi akhirnya Badrun menemukan tangga yang sudah lama hilang dalam bingkai kehidupannya, tanpa komando pena telah menjadi kendaraan yang melaju sangat kencang dibalik jalanan sunyi. Kemilau hati terpancar dari sang pelopor bait karena rangkaian kehidupan berhasil ia raih dengan tangannya sendiri.
            Sebuah puisi dengan kata puitis telah selesai dengan sempurna, seperti biasanya Badrun selalu memperlihatkan setiap karya yang baru selesai kepada seseorang yang boleh dibilang mengerti dan pandai dalam hal tulis menulis. Pak Rus adalah tetangga Badrun yang selama ini membimbing dengan ikhlas pemuda berkarakter pantang menyerah tersebut. Melihat puisi baru Badrun, terlihat serius wajah tua Pak Rus membaca dan menganalisa setiap kata yang tertuang dalam bait-bait. Setelah melihat puisi baru dari Badrun Pak Rus terlihat kecewa karena ia merasa tulisan ini tanpa makna. Mendengar kesimpulan itu Badrun tiba-tiba merasa dalam keadaan benar-benar jauh dari kenyamanan yang terkontaminasi setumpuk virus kegelisahan. Jiwa dan pikirannya kini tak searah melintasi alur setumpuk makna, tak ada sedikitpun rasa senang menghampiri wajah yang penuh kegelisahan.
            Tak mau disebut penulis putus asa, Badrun dengan sisa semangat yang dari pagi melekat dalam ruang kemanusiaannya beranjak meraih pena ditemani kertas putih yang siap untuk tergores tinta emas. Dalam kancah kepenulisan Badrun memang belum pernah meraih prestasi gemilang karena selama ini tulisannya hanya sebatas Pak Rus saja, beberapa kali tetangga Badrun itu berusaha memamerkan karya muridnya tersebut kepada media namun kegagalan selalu ditemui dalam setiap lembaran semangatnya
            Lagi-lagi pemuda pantang menyerah ini berhadapan dengan pasukan imajinatif yang selalu memburu kedahsyatan sebuah amunisi berupa goresan kehidupan. Dalam renungan imajinasi ia berusaha merangkai kata menjadi sebentuk bait sempurna. Waktu terus berjalan mengikuti jejak langkah goresan syahdu, Keringat yang terlihat dari tubuh pencetus makna menunjukkan betapa gigihnya sebuah perjuangan yang dihadapinya. Sekali lagi karya yang dianggap sempurna oleh Badrun tak mampu mencapai titik luar biasa karena Pak Rus melihat banyak kesalahan dari lingkaran pena itu. Kegelisahan kini benar-benar menggerogoti aliran darah dari pemuda pantang menyerah ini, Ia tak tau harus bagaimana lagi membuat seutas kata menjadi rantai bait yang kokoh. Lagi dan lagi Badrun berusaha meyakinkan guru ikhlasnya itu bahwa ia pantas menjadi seorang penulis yang diperhitungkan.
            Saat itu Badrun merenung sejenak, memperhatikan semua kesalahan yang membuatnya jatuh bangun. Tumpukan buku yang ia baca untuk mengoreksi kesalahan yang ada dalam karyanya menjadi saksi betapa luar biasa semangat yang dimiliki pemuda itu. Tanpa berpikir panjang pena digerakkan oleh seorang yang sejenak terlihat hebat karena telah menemukan cincin yang sudah lama hilang. Sebuah karya yang terlahir dari sosok pantang menyerah menjadi kendaraan yang siap melaju dengan kesempurnaan pengemudinya. Pak Rus yang dari tadi menunggu akhirnya bisa tersenyum lebar melihat dan menganalisa karya anak muridnya tersebut. Tak mau tertinggal waktu Pak Rus segera mengirim puisi tersebut kepada panitia lomba Karya tulis yang berada tak jauh dari kediamannya.
            Tiba saatnya pengumuman karya terbaik dimana semua peserta hadir dan berharap usaha mereka membuahkan hasil yang maksimal. Sepuluh puisi terbaik terucap dari mulut penulis handal Indonesia Andrea Hirata yang kebetulan saat itu menjadi tim penilai, sampai puisi kesembilan karya Badrun belum juga muncul kepermukaan. Sempat ia merasakan keraguan besar karena melihat talenta luar biasa penulis yang lain. Semangat pemuda pantang menyerah ini berkobar ketika karya yang diselesaikan dengan jatuh bangun akhirnya berhasil mengantarnya menuju gerbang mimpinya. Puisinya masuk dalam sepuluh besar. Dari sepuluh besar ini, penulis akan membacakan karya mereka dan mengutarakan makna dibalik tulisan tersebut sebagai bentuk penialaian. Mendengar pengumuman itu sontak Badrun kaget luar biasa karena hal ini diluar perkiraannya. Ia tak tau harus bagaimana melewati tembok berdinding baja berlapis lima pula. Ia kemudian mencari sosok tua yang telah mengisi setiap lembaran kepenulisannya, ternyata Pak Rus sudah pulang ke rumahnya karena ada sesuatu yang harus diselesaikannya. Satu demi satu para penulis mengaplikasikan karya-karya mereka.
            Kali ini giliran Badrun yang akan membacakan karya sempurnanya itu, dengan perasaan gelisah luar biasa ia merasa sedang berada dalam kobaran api mengelilingi tubuhnya. Tapi ia tak mau menyerah, dengan kesungguhan ia melakukan apa yang seharusnya ia lakukan tanpa memaksa dirinya untuk jatuh kedalam lubang kegagalan. Tim penilai yang melihat cara Badrun menyampaikan makna dari karyanya itu merasa heran dan aneh, karena yang terlihat hanyalah sebuah gerakan tanpa sepatah kata yang terucap. Mereka semakin heran ketika Badrun memberikan hormat pertanda ia telah selesai membacakan isi dan makna dari karyanya tersebut. Salah satu dari tim penilai dengan rasa gembira luar biasa memberikan tepuk tangan dan mengatakan pemuda ini sangat-sangat luar biasa. Ia kemudian berbincang dengan Badrun dengan gaya gerakan tanpa sepatah kata yang membuat seluruh manusia yang hadir pada saat itu memandang heran dengan tingkah mereka.
            Beruntung Badrun dipertemukan dengan sosok tim penilai yang mengerti dengan bahasa tubuhnya, bahkan juri tersebut bersedia menjelaskan kepada khalayak tentang makna puisi Badrun yang bercerita tentang dirinya sendiri dan dibacakan dengan bahasanya sendiri. Karya dengan judul “Puisi Tanpa Kata” itu akhirnya menjadi nomor satu dalam lomba karya cipta puisi.
                                                                        Makassar 21 November 2011
           
           

No comments:

Post a Comment