Awal pekan ini menjadi hari yang sangat melelahkan untukku. Tugas
dari kampus lumayan berat, aku diharuskan mencari referensi sebanyak mungkin.
Aku diberi saran oleh dosen untuk membaca tuntas dua puluh judul buku dalam
waktu satu minggu. Tentu ini sangat sulit bagiku. Salah satu jalan keluarnya
adalah dengan mengunjungi toko buku dan bertengger di dalamnya selama
berjam-jam.
Ratusan buku terpajang
rapi seakan berebut dan berteriak agar dipilih untuk dibaca. Ruangan cukup luas
membuat suasana hati sejuk ketika berada di dalamnya. Aku salah satu yang
paling betah duduk berlama-lama membaca buku berkualitas dengan harga tinggi.
Kebanyakan buku berkualitas tak mampu kubeli, beruntung toko buku tersebut
menyediakan tempat membaca. Jika tak mampu membeli yang aku lakukan adalah membaca
sampai tuntas buku yang membuatku tertarik.
Senin pagi tepat
pukul sepuluh aku sudah berada dalam toko buku, duduk manis di sebuah kursi
dengan buku di tangan dan beberapa lagi aku menaruhnya di sampingku. Pagi itu
menjadi pagi yang indah bagiku karena tepat di sampingku duduk seorang gadis
cantik luar biasa. Sekali dua kali bahkan berkali-kali aku menatap wajahnya,
tentu tanpa sepengetahuannya. Kecantikan gadis itu melebihi wanita tercantik di
kampusku. Pesonanya begitu menawan, ini kali pertama aku melihat bidadari. Ya,
aku menyebutnya bidadari. Hari itu aku berhasil membaca dua buku sampai tuntas.
Rasa pegal menyerangku, mataku sudah tak mampu menerawang huruf yang tertata
rapi di atas kertas. Usai membaca aku memutuskan untuk segera pulang dan
mengerjakan tugas yang telah menungguku.
Aku melanjutkan
perjalananku memahami isi dari setiap kata yang kubaca keesokan harinya.
Kembali aku melihat bidadari itu. Indahnya membuatku merasakan getar syahdu
kebahagiaan. Ingin sekali aku berkenalan dengannya namun nyali dalam jiwaku tak
mampu bertindak. Aku hanya bisa menikmati parasnya dari jauh tanpa mampu
menyentuh hatinya. Kali ini ia tak duduk di sampingku. Aku merasa sedikit
senang karena kursi kami berhadapan meski jaraknya cukup jauh. Rasa senang yang
kurasa karena lebih leluasa memandang wajah cantiknya terlebih disaat ia
melempar sebuah senyum setiap aku menatapnya. Sungguh perasaanku menggila
untuknya, namun lagi dan lagi nyaliku mundur saat menyadari kelebihan yang
dimiliki bidadari itu. Tak mungkin aku bisa menyentuh hatinya, kuakui diriku
kurang begitu sempurna sehingga merasa tak pantas memilikinya. Akhirnya aku
hanya menikmati parasnya dari jauh.
Hari ketiga aku
datang ke toko buku agak siang. Lebih lambat dari dua hari sebelumnya. Saat
hendak duduk di kursi untuk baca buku, pandanganku terasa sejuk. Kulihat gadis
itu duduk manis sedang membaca salah satu buku agama Islam. Sejak awal aku
melihat memang gadis itu selalu baca buku-buku islami. Hatiku semakin sejuk
kala itu, paras cantik dan hati suci pikirku memberi pendapat untuk diriku
sendiri. Aku memutuskan duduk tepat di sampingnya, hal itu akan semakin
menyejukkan setiap sendi panas dalam tubuhku. Nyaliku masih tak mampu berbuat
apa-apa. Tak ada sepatah kata yang sanggup kukatakan untuknya meski hati ini
sangat menginginkan sebuah perkenalan dan percakapan. Aku benar-benar ingin
tahu banyak tentang gadis itu, kemudian memiliki dirinya. Tepat kata aku jatuh
cinta pada gadis itu, bidadari dunia dikirim Tuhan untukku.
Aku semakin
gelisah di hari keempat, bidadari itu kembali duduk di sampingku. Sempat
bibirku mencoba mengeluarkan kata namun itu tak terjadi karena bidadari itu
tiba-tiba pergi dan keluar dari toko buku. Mungkin ia sudah bosan karena tiap
hari harus bertemu denganku ataukah ia menungguku bicara dan itu tak kunjung
terjadi sehingga membuatnya marah? Pikiranku berkecamuk, campur aduk rasa
melanda jiwaku. Entah mengapa bibirku tak mampu berucap ketika hendak berbicara
dengannya. Ini pengalaman pertamaku, dalam cinta pastinya. Sejauh hidupku
berjalan hingga saat ini aku belum pernah mengenal cinta.
Malam sudah mulai
gelap ketika aku tiba di rumah. Hanya remang cahaya lampu terlihat dari setiap
sudut rumah. Segera kuraih laptop untuk mengetik segala hal yang aku dapat dari
buku yang telah kubaca di toko buku tadi. Terus aku memindahkan file dari
otakku ke file komputer. Sedang asyik berbicara dengan pengetahuanku tanganku
berhenti mengetik, otakku tak mampu menuangkan ilmu yang kudapat dalam buku
yang telah kubaca. Wajah bidadari itulah penyebabnya. Kini pikiranku tertuju
padanya. Wajah cantik dengan senyum mempesona itu terbayang dan terus
terbayang. Aku tak mampu menahan gejolak hatiku. Kali ini nyaliku mulai
berbicara, ia mengatakan siap mengeluarkan segenap kekuatannya untuk menghadapi
bidadari itu. Nyaliku mulai siap melakukan tugasnya. Malam itu aku terus
membayangkan wajah gadis itu, bidadari yang dikirim Tuhan untukku. Aku telah
menyusun sebuah rencana untuk bisa berkenalan dengannya esok hari. Aku harus
bisa berbicara panjang lebar dengannya karena aku sungguh-sungguh jatuh cinta.
Rencana yang matang telah kupersiapkan.
Hari keempat aku
menginjakkan kaki di toko buku itu menjadi penentu nasib cintaku. Rasa canggung
sering menyerangku namun nyali lebih cepat menepisnya. Aku melangkah sesempurna
mungkin ketika hendak duduk di kursi toko buku. Duduk manis menanti sang
bidadari menjadi awal rencanaku. Aku menunggu dengan hati riang bercampur rasa
canggung.
Empat jam sudah
aku menunggu kedatangan bidadari itu namun ia tak kunjung muncul. Gelisah mulai
bertahta dalam hatiku. Tak menentu. Aku semakin terpuruk saat toko buku segera
ditutup karena sudah waktunya. Dingin malam menusuk jiwaku. Rencana besarku
gagal, nyaliku tak mampu bergeming. Aku pulang dengan tangan hampa. Sekali lagi
aku gagal.
Sebelum pulang ke
rumah seperti biasa aku sering didera rasa lapar. Aku selalu mampir di sebuah
warung makan super murah. Ini rutin kulakukan setiap pulang dari toko buku.
Saat berada di warung itu aku langsung memesan menu andalanku, Nasi goreng
telur. Suapan pertama yang masuk ke mulutku membuyarkan rasa lapar. Suapan
kedua aku berhenti. Kulihat diseberang warung sebuah rumah penuh dengan
orang-orang. Suara tangisan mengganggu telingaku. Aku semakin penasaran saat
melihat karangan bunga duka lengkap dengan gambar diri yang meninggal. Sepintas
kulihat mirip wajah gadis di toko buku, bidadariku. Untuk memastikan,
kutinggalkan sejenak makananku kemudian berjalan mendekati karangan bunga itu.
Ternyata penglihatanku tak salah, yang terlihat jelas di depan mataku adalah
gambar diri bidadari itu. Tubuhku lemas, hatiku teriris. Jantungku terasa
sangat lemah, langkahku berat.
Segera aku
melangkah masuk ke dalam rumah duka. Tak ada yang mengenalku, tak juga
seorangpun yang aku kenal kecuali gadis yang terbujur kaku di hadapanku. Gadis
impian yang membuat hariku indah. Bidadari yang dikirim Tuhan untukku. Air
mataku berderai saat melihat senyum dari wajahnya. Ia pergi dengan sebuah
senyuman, meninggalkan segala cerita hidupnya. Senyum penuh pesona yang
mengisahkan kesucian hati seorang manusia. Senyum yang kuterima saat memandang
wajahnya di toko buku. Aku benar-benar sedih dan menangis.
Tangisku terhenti
ketika salah seorang berbicara denganku. Orang itu menanyakan apakah aku
mengenal gadis itu. Orang itu tak lain adalah ibu gadis itu. Aku kemudian
menjelaskan semua yang telah aku alami dengan gadis itu. Betapa pilunya hatiku
ketika mendengar penjelasan dari ibunya bahwa gadis bernama Putri Syahadat itu
mengidap penyakit kanker otak. Dokter telah memberikan vonis umurnya tak akan
bertahan lama. Lima hari yang lalu vonis itu jatuh kepadanya dan saat itu juga
ia banyak menghabiskan waktunya untuk kebaikan. Ia lebih rajin beribadah
dibanding sebelumnya. Untuk menambah pengetahuannya tentang agama, ia banyak
membaca buku islami.
Bidadari itu
memberiku banyak pelajaran hidup. Senyum yang pernah diberikan untukku tak akan
pernah hilang dalam jiwaku. Senyum tulus penuh arti kutemukan dalam dirinya.
Walau aku tak sempat mengenalnya namun senyum itu menceritakan segalanya
tentang dirinya. Gadisku, bidadariku, senyum hidupku.
Makassar, 25 Maret 2012
No comments:
Post a Comment