Air mata suci mengalir lembut dari wajah tua itu. Wajah penuh harap
menanti sebuah keajaiban. Langit sore menjadi tempat yang indah menjalani
penantiannya. Sahabat penuh makna adalah air mata suci.
Wanita tua berusia
80 tahun itu mengalami sesuatu yang mengganggu hidupnya. Sudah dua bulan ia
melepas anaknya yang pergi guna menjalankan tugas mulia. Menjadi tentara adalah
pilihan hidup putra semata wayangnya. Sejak anaknya pergi ia selalu ditemani
beberapa bahkan banyak tetesan embun di matanya. Embun itu adalah air mata
suci.
Gelisahnya semakin
kuat saat ia menerima kabar bahwa putranya hilang saat sedang menjalani tugas
di medan perang. Ia tak mampu menahan tangis mendengar kabar buruk itu. Jiwanya
rapuh, hari-harinya dipenuhi rasa gundah. Wanita tua itu selalu mengingat saat
terakhir bertemu dengan anaknya. Bayangang senyuman anakanya selalu muncul.
Saat itu ia tak mampu menahan aliran deras air matanya, air mata suci.
Langit sore
menjadi sahabat terbaiknya. Pukul empat tepatnya. Sejak kecil putranya selalu
melantunkan ayat suci Al Qur’an setiap pukul empat sore. Melihat putranya
seperti itu jiwanya terketuk untuk melakukan hal yang sama. Sejak saat itu ia
dan putranya menghabiskan sorer dengan melantunkan ayat suci Al Qur’an setiap
hari. Rasa haru luar biasa selalu muncul kala menatap dalam putranya saat
membaca Qur’an. Tetesan air matanya mengalir, air mata suci.
Dua bulan sudah
gelisah dan sedih menghiasi hidupnya. Ia tak pernah melewatkan kebiasaannyamenghabiskan
sore dengan membaca Qur’an. Walau tak ditemani putranya ia tak pernah lupa
kebiasaannya pada pukul empat sore. Setiap hari wanita tua itu memikirkan putra
semata wayangnya. Pukul empat sore menjadi tempat mencurahkan segala
kegundahannya. Lantunan ayat suci yang keluar dari mulutnya membuat jiwanya
kuat walaupun diiringi oleh air mata, air mata suci.
Hari ini tepat
pukul empat sore aku melihat cahaya di wajah wanita tua itu. Saat ia sedang
melantunkan ayat suci Al Qur’an aku mengingat saat-saat indah masa kecilku.
Lama aku menatapnya sebelum memutuskan masuk ke rumah untuk menemuinya. Aku
sedih melihat air mata yang membasahi pipinya. Itu adalah air mata paling indah
yang pernah kulihat. Sebuah air mata suci.
Tanpa
berlama-lama, aku segera masuk memeluk tubuh tuanya. Ibuku tersentak melihat
diriku kembali. Ia merasa tak percaya namun di hadapannya nyata terlihat. Aku
memeluk tubuhnya dan menceritakan bahwa aku berhasil menyelematkan diri dari
genggaman musuh dalam peperangan. Ibu menangis, aku juga menangis. Air mata ibu
begitu suci. Senyum indah yang selalu kurindukan kini kembali. Suasana haru
pada pukul empat sore menjadi cerita indah. Ibu dan air matanya, air mata suci.
Irwandi Fahruddin
Makassar, 5 Mei 2012
No comments:
Post a Comment