Labels

Sunday, September 6, 2015

SATPAM BEST SELLER

Membaca telah buatku mengerti akan pentingnya ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu begitu dalam menyerang jiwaku. Buku tak luput dari genggamanku setiap hari. Orang lain mengatakan bahwa aku sangat terlambat dalam belajar. Di samping usiaku yang sudah menginjak angka 40, pekerjaanku sebagai satpam membuat orang lain ragu akan diriku. Aku sangat menikmati bekerja sebagai satpam. 30 tahun yang lalu aku berhasil mendapat sebuah pekerjaan yang menurutku sangat menyenangkan yakni menjadi satpam. Aku berjanji pada diriku bahwa aku akan terus bekerja sebagai satpam selama hidup.  
            Aku menyadari bahwa memang pekerjaanku sebagai satpam tidak menuntut untuk belajar, ditambah hobi membaca yang katanya hanya untuk kalangan terpelajar. Banyak dari mereka yang mengenalku memberi saran agar aku tidak usah bersusah-payah menganalisa setiap kata dan kalimat dalam buku yang kubaca. Bahkan istriku sendiri mengalamatkan rasa pesimis terhadapku. Semua itu tak kupeduli, aku akan terus belajar dan tak ada kata terlambat. Menjadi pembaca buku yang baik telah mengajariku untuk lebih bijaksana menyikapi hidup ini. Sesuatu yang selama ini aku anggap remeh ternyata memberi manfaat luar biasa. Entah mengapa di negeri yang kekurangan orang cerdas ini menganggap remeh hobi membaca, sementara buku dikatakan sebagai jendela dunia.
            Waktuku lebih banyak kuluangkan menghadapi buku-buku apa saja yang menurutku bagus untuk dibaca. Kadang menjadi satpam itu sangat membosankan. Duduk dari pagi hingga siang di sebuah pos yang letaknya tepat di dekat pintu gerbang sekolah. Dan jika ada siswa yang melanggar, aku orang pertama yang mengeksekusi siswa tersebut. Tenaga terkuras, pikiran dilanda emosi karena tak jarang para siswa melakukan hal di luar sopan santun sebagai anak. Saat semua siswa belajar di kelas, aku hanya duduk di pos sambil baca buku. Seperti itulah rutinitasku setiap hari di sekolah.
            Di rumah, aku melakukan pekerjaan yang bagiku sangat menantang. Teman-teman satpam yang lain kebanyakan dari mereka bekerja di kebun atau bekerja sebagai tukang ojek usai melaksanakan tugas di sekolah. Aku tidak melakukan hal yang sama. Kata mereka aku keluar dari jalur yang mustahil untuk aku raih. Berkat kerja keras dan doa, aku berhasil meraih apa yang kuinginkan. Tentu dalam prosesnya aku selalu menghadapi rintangan yang tak mudah. Sekarang, impianku telah kugapai dan akan terus kupertahankan apa yang telah kuraih.
***
            Aku mengenal buku dari salah seorang tetangga. Namanya Ardi. Ia bekerja sebagai wartawan media cetak di kotaku. Awalnya aku tidak tertarik dengan dunia jurnalistik. Namun caranya menyampaikan berbagai persoalan yang terjadi di sekitar membuatku penasaran. Setiap malam kami berdiskusi tentang berbagai peristiwa yang berhasil ia liput. Dari diskusi itu, ia memberiku sebuah buku yang berisi artikel-artikel menarik dari penulis Indonesia. Buku itu menyajikan berbagai persoalan yang melilit bangsa ini, berbagai solusi juga dipaparkan dalam buku tersebut. Inspiratif. Sejak saat itu aku menjadi giat membaca, aku berlangganan koran untuk menambah wawasanku. Merasa membaca masih kurang memuaskan, aku mencoba menulis. Ardi menyambut baik rencanaku, ia bersedia meminjamkan laptopnya untukku. Setiap malam aku dan Ardi  selalu mendiskusikan berbagai permasalahan kemudian kami menulisnya dalam bentuk artikel. Semua tulisanku tersimpan rapi dalam laptop Ardi.
            Hingga suatu hari saat hendak berangkat ke sekolah aku mengambil koran lalu membacanya, aku tersentak saat membaca kolom opini. Tulisan itu membahas tentang dunia pendidikan Indonesia yang masih dalam tahap memprihatinkan. Sebuah tulisan sederhana yang ditulis oleh seseorang yang pendidikannya hanya sampai SMP. Tak pernah merasakan indahnya bangku SMA. Selain nama, foto penulis juga terpampang jelas dan di bawah nama penulis tertulis pekerjaannya”SATPAM SMPN 1 CERIA.”
***
            Sejak pertama kali tulisanku dimuat di koran lokal, aku semakin semangat menulis artikel. Dan kerja kerasku terbayar dengan dimuatnya tulisanku setiap edisi akhir pekan. Dari hasil menulis ditambah gaji sebagai satpam aku membeli sebuah laptop. Hal ini untuk menunjang pekerjaanku sebagai penulis. Masyarakat yang mengetahui identitasku sering datang untuk sekadar bertanya bagaimana bisa seorang satpam jadi penulis. Aku menjawab dengan mantap bahwa semua itu berkat kerja keras dan doa. Tentu dengan cara mencintai apa yang dikerjakan. Seiring waktu berjalan, tulisanku semakin banyak. Aku semakin berani melakukan kritik terhadap persoalan bangsa ini.
            Keberanianku berujung di penjara. Aku dijebloskan ke penjara karena mengungkap sebuah kasus korupsi di sekolah tempatku bekerja. Ternyata pihak sekolah lebih cerdik dariku. Semua bukti-bukti disembunyikan sehingga mereka selamat dari jerat hukum. Sementara tulisanku dianggap mencemarkan nama baik maka aku diseret ke penjara. Selain itu aku juga dipecat sebagai satpam di SMPN 1 Ceria. Kudengar kabar saat istriku menjenguk, kepala sekolah telah menulis tentang diriku. Ia memfitnahku lewat tulisannya, celakanya tulisan tersebut meski tak layak dimuat tapi tetap saja koran lokal menyediakan tempat bagi tulisan kepala sekolah itu.
            Awal masuk penjara, aku berhenti menulis. Walaupun diperkenankan untuk menulis tapi aku menolak dengan alasan tak punya ide. Namun saat hatiku berontak, jiwaku hancur aku bersedia menulis. Pihak penjara menyediakan komputer di ruangan khusus sebagai tempatku berkarya. Atas tulisan kepala sekolah itu, hukumanku bertambah. Sebelumnya aku dijatuhi vonis empat bulan kurungan. Ternyata kepala sekolah terus mencari cara agar aku tetap berada di tempat para orang bersalah ini. Dengan bukti palsu, kepala sekolah SMPN 1 Ceria berhasil menambah hukumanku dengan tuntutannya. Aku tak berdaya, ia menyewa pengacara hebat dan berani sehingga hukumanku dari empat bulan berubah jadi empat tahun. Keluargaku sedih, kami tak bisa berbuat apa-apa melawan keganasan para manusia kaya dan serakah.
            Empat bulan pertama di penjara, aku berhasil menulis puluhan artikel. Pihak rumah tahanan menyarankan agar aku menerbitkan karyaku itu. Aku setuju. Pihak rumah tahanan yang mengirim naskahku ke penerbit. Hasilnya, naskahku ditolak setelah tiga bulan lamanya menunggu konfirmasi. Selama menunggu itu pula aku terus menulis dan menulis. Berkali-kali pihak rumah tahanan mengirim naskahku ke penerbit tapi tetap saja tidak ada hasil. Semua ditolak. Selama setahun di penjara, aku menghasilkan ratusan artikel. Semua tersimpan rapi dalam komputer. Ratusan artikel itu ternyata belum mampu menjadi sebuah buku.
***
            Memasuki tahun kedua, kemampuan menulisku semakin baik. Dalam waktu seminggu aku berhasil menyelesaikan puluhan artikel dengan berbagai tema. Semangatku untuk terus berkarya semakin berkobar. Tapi tetap saja tulisanku ditolak penerbit. Aku bingung, sudah ratusan artikel yang kutulis tak ada satupun penerbit yang mau menjadikannya buku. Hingga suatu hari Ardi mengunjungiku.
            “Tulisanmu sudah kubaca semua lewat flashdisk yang dibawa istrimu. Semua tulisanmu itu sangat bagus menurutku. Tapi penerbit sekarang lebih cenderung menerima karya yang inspiratif. Dari dulu hingga sekarang tulisanmu semua bersifat mengkritik. Kuakui itu memang baik guna sebagai pembelajaran tapi selera masyarakat saat ini berbeda. Karena sejak dahulu kamu hanya terpaku menulis artikel, cobalah untuk pindah ke jalur baru yang menurutku sangat menyenangkan.” Kata Ardi saat bertemu denganku dan menyerahkan tiga buah novel karya Andrea Hirata.
Tetralogi Laskar Pelangi menjadi bacaanku sejak itu. Motivasiku melejit, jiwaku kembali terang benderang. Buku itu membimbingku untuk memahami sebuah kehidupan dengan bercita-cita setinggi langit. Aku mencoba mencari ide untuk menulis sebuah novel. Butuh waktu dua bulan menulis novel pertamaku itu kemudian pihak rumah tahanan tak lelah mengirim karyaku ke penerbit. Hukumanku masih dua bulan lagi. Aku telah menikmati hari-hariku di penjara, membaca dan menulis menjadi rutinitasku. Pihak rumah tahanan sangat baik dengan menyediakan fasilitas bagi narapidana untuk belajar dan berkarya.
Kegiatan pagi di penjara yaitu membersihkan lokasi tahanan kemudian sarapan. Saat sedang sarapan aku mendapat kabar dari pihak penjara tentang nasib tulisanku yang dikirim dua bulan lalu. Novel tentang kehidupan pendidikan anak negeri yang kutulis dengan tinta cintaku berhasil menggugah hati penerbit. Tulisanku diterima. Sungguh, hari ini sangat menyenangkan buatku. Mimpi yang telah lama kurangkai kini terwujud. Meski berada di tempat para orang bersalah, aku berhasil mewujudkannya.
***
Hatiku tak kuasa menahan kesedihan kala berjalan keluar dari penjara. Empat tahun menjalani hukuman membuatku sedih, hukuman yang tak seharusnya kuterima. Fitnah, ya fitnah. Empat tahun lalu seseorang telah merusak hidupku. Aku telah memaafkan penjahat itu, meski dia tak pernah sekalipun hadir menjengukku. Empat tahun aku berkarya tanpa henti, suka duka bersama penghuni tahanan lain dan juga petugas yang baik hati. Jiwaku telah menyatu dengan tempat dan orang-orang yang berada di dalamnya. Sungguh, aku sedih bercampur bahagia meninggalkan tempat ini. Kini, aku benar-benar bebas.
Aku mengucapkan salam perpisahan kepada kawan dan petugas di penjara. Hukumanku sudah selesai. Aku akan memulai hidup baru di luar penjara. Air mata tak mampu kutahan ketika tanganku menjabat beberapa petugas yang baik hati telah memberikan kesempatan bagiku untuk berkarya. Mereka pahlawan bagiku. Penjara, kini tinggal kenangan bagiku dan aku berdoa semoga aku tidak kembali ke tempat orang-orang bersalah ini dengan persoalan hukum.
Di rumah, keluarga dan tetangga ternyata telah menunggu. Istriku mengadakan acara syukuran atas bebasnya diriku yang sebenarnya tidak bersalah ini. Sampai di rumah aku diserbu banyak pertanyaan oleh tetangga yang penasaran dengan kejadian sebenarnya yang menimpaku. Panjang lebar aku menceritakan semua yang kualami menjelang masuk penjara hingga bebas. Rasanya, hari yang menyenangkan menyambutku dengan senyum merekah.
Keesokan pagi aku menerima kabar yang semakin membuat hati dan jiwaku berbunga-bunga. Editor penerbit yang telah menerbitkan novel karyaku datang ke rumah dengan wajah berseri-seri. Editor tersebut mengungkapkan bahwa novelku sejak awal diterbitkan hingga saat ini masih banyak yang berminat. Bahkan penerbit telah mencetak ulang karena cetakan pertama telah habis terjual. Mengagumkan. Rasanya aku tak percaya dengan apa yang diucapkan editor itu, karyaku habis terjual dan akan dicetak ulang. Itu berarti seluruh Indonesia menyukai novel yang kubuat dengan penuh cinta itu. Alhamdulillah.
***
Novel karyaku berhasil menembus angka penjualan yang cukup tinggi. Novel inspiratif yang menjadi buah bibir para pecinta sastra dan seni. Karyaku jadi best seller. Digemari berbagai kalangan. Bahkan dalam waktu dekat ini novelku akan jadi sebuah film. Dan aku dijuluki sebagai Satpam best seller. Kerja keras, semangat, tekun, tak kenal lelah  dan pantang menyerah menjadi modal utamaku dalam menghadapi kerasnya kehidupan.

Irwandi Fahruddin
Palopo, 29 Oktober 2013

No comments:

Post a Comment