Membaca
telah buatku mengerti akan pentingnya ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu begitu
dalam menyerang jiwaku. Buku tak luput dari genggamanku setiap hari. Orang lain
mengatakan bahwa aku sangat terlambat dalam belajar. Di samping usiaku yang
sudah menginjak angka 40, pekerjaanku sebagai satpam membuat orang lain ragu
akan diriku. Aku sangat menikmati bekerja sebagai satpam. 30 tahun yang lalu
aku berhasil mendapat sebuah pekerjaan yang menurutku sangat menyenangkan yakni
menjadi satpam. Aku berjanji pada diriku bahwa aku akan terus bekerja sebagai
satpam selama hidup.
Aku menyadari bahwa memang
pekerjaanku sebagai satpam tidak menuntut untuk belajar, ditambah hobi membaca
yang katanya hanya untuk kalangan terpelajar. Banyak dari mereka yang
mengenalku memberi saran agar aku tidak usah bersusah-payah menganalisa setiap
kata dan kalimat dalam buku yang kubaca. Bahkan istriku sendiri mengalamatkan
rasa pesimis terhadapku. Semua itu tak kupeduli, aku akan terus belajar dan tak
ada kata terlambat. Menjadi pembaca buku yang baik telah mengajariku untuk
lebih bijaksana menyikapi hidup ini. Sesuatu yang selama ini aku anggap remeh
ternyata memberi manfaat luar biasa. Entah mengapa di negeri yang kekurangan
orang cerdas ini menganggap remeh hobi membaca, sementara buku dikatakan
sebagai jendela dunia.
Waktuku lebih banyak kuluangkan
menghadapi buku-buku apa saja yang menurutku bagus untuk dibaca. Kadang menjadi
satpam itu sangat membosankan. Duduk dari pagi hingga siang di sebuah pos yang
letaknya tepat di dekat pintu gerbang sekolah. Dan jika ada siswa yang
melanggar, aku orang pertama yang mengeksekusi siswa tersebut. Tenaga terkuras,
pikiran dilanda emosi karena tak jarang para siswa melakukan hal di luar sopan
santun sebagai anak. Saat semua siswa belajar di kelas, aku hanya duduk di pos
sambil baca buku. Seperti itulah rutinitasku setiap hari di sekolah.
Di rumah, aku melakukan pekerjaan
yang bagiku sangat menantang. Teman-teman satpam yang lain kebanyakan dari
mereka bekerja di kebun atau bekerja sebagai tukang ojek usai melaksanakan
tugas di sekolah. Aku tidak melakukan hal yang sama. Kata mereka aku keluar
dari jalur yang mustahil untuk aku raih. Berkat kerja keras dan doa, aku
berhasil meraih apa yang kuinginkan. Tentu dalam prosesnya aku selalu
menghadapi rintangan yang tak mudah. Sekarang, impianku telah kugapai dan akan
terus kupertahankan apa yang telah kuraih.
***
Aku mengenal buku dari salah seorang
tetangga. Namanya Ardi. Ia bekerja sebagai wartawan media cetak di kotaku.
Awalnya aku tidak tertarik dengan dunia jurnalistik. Namun caranya menyampaikan
berbagai persoalan yang terjadi di sekitar membuatku penasaran. Setiap malam
kami berdiskusi tentang berbagai peristiwa yang berhasil ia liput. Dari diskusi
itu, ia memberiku sebuah buku yang berisi artikel-artikel menarik dari penulis
Indonesia. Buku itu menyajikan berbagai persoalan yang melilit bangsa ini,
berbagai solusi juga dipaparkan dalam buku tersebut. Inspiratif. Sejak saat itu
aku menjadi giat membaca, aku berlangganan koran untuk menambah wawasanku.
Merasa membaca masih kurang memuaskan, aku mencoba menulis. Ardi menyambut baik
rencanaku, ia bersedia meminjamkan laptopnya untukku. Setiap malam aku dan
Ardi selalu mendiskusikan berbagai
permasalahan kemudian kami menulisnya dalam bentuk artikel. Semua tulisanku
tersimpan rapi dalam laptop Ardi.
Hingga suatu hari saat hendak
berangkat ke sekolah aku mengambil koran lalu membacanya, aku tersentak saat
membaca kolom opini. Tulisan itu membahas tentang dunia pendidikan Indonesia
yang masih dalam tahap memprihatinkan. Sebuah tulisan sederhana yang ditulis
oleh seseorang yang pendidikannya hanya sampai SMP. Tak pernah merasakan
indahnya bangku SMA. Selain nama, foto penulis juga terpampang jelas dan di
bawah nama penulis tertulis pekerjaannya”SATPAM SMPN 1 CERIA.”
***
Sejak pertama kali tulisanku dimuat
di koran lokal, aku semakin semangat menulis artikel. Dan kerja kerasku
terbayar dengan dimuatnya tulisanku setiap edisi akhir pekan. Dari hasil
menulis ditambah gaji sebagai satpam aku membeli sebuah laptop. Hal ini untuk
menunjang pekerjaanku sebagai penulis. Masyarakat yang mengetahui identitasku
sering datang untuk sekadar bertanya bagaimana bisa seorang satpam jadi
penulis. Aku menjawab dengan mantap bahwa semua itu berkat kerja keras dan doa.
Tentu dengan cara mencintai apa yang dikerjakan. Seiring waktu berjalan,
tulisanku semakin banyak. Aku semakin berani melakukan kritik terhadap
persoalan bangsa ini.
Keberanianku berujung di penjara.
Aku dijebloskan ke penjara karena mengungkap sebuah kasus korupsi di sekolah
tempatku bekerja. Ternyata pihak sekolah lebih cerdik dariku. Semua bukti-bukti
disembunyikan sehingga mereka selamat dari jerat hukum. Sementara tulisanku
dianggap mencemarkan nama baik maka aku diseret ke penjara. Selain itu aku juga
dipecat sebagai satpam di SMPN 1 Ceria. Kudengar kabar saat istriku menjenguk,
kepala sekolah telah menulis tentang diriku. Ia memfitnahku lewat tulisannya,
celakanya tulisan tersebut meski tak layak dimuat tapi tetap saja koran lokal
menyediakan tempat bagi tulisan kepala sekolah itu.
Awal masuk penjara, aku berhenti
menulis. Walaupun diperkenankan untuk menulis tapi aku menolak dengan alasan
tak punya ide. Namun saat hatiku berontak, jiwaku hancur aku bersedia menulis. Pihak
penjara menyediakan komputer di ruangan khusus sebagai tempatku berkarya. Atas
tulisan kepala sekolah itu, hukumanku bertambah. Sebelumnya aku dijatuhi vonis
empat bulan kurungan. Ternyata kepala sekolah terus mencari cara agar aku tetap
berada di tempat para orang bersalah ini. Dengan bukti palsu, kepala sekolah
SMPN 1 Ceria berhasil menambah hukumanku dengan tuntutannya. Aku tak berdaya,
ia menyewa pengacara hebat dan berani sehingga hukumanku dari empat bulan
berubah jadi empat tahun. Keluargaku sedih, kami tak bisa berbuat apa-apa
melawan keganasan para manusia kaya dan serakah.
Empat bulan pertama di penjara, aku
berhasil menulis puluhan artikel. Pihak rumah tahanan menyarankan agar aku
menerbitkan karyaku itu. Aku setuju. Pihak rumah tahanan yang mengirim naskahku
ke penerbit. Hasilnya, naskahku ditolak setelah tiga bulan lamanya menunggu
konfirmasi. Selama menunggu itu pula aku terus menulis dan menulis.
Berkali-kali pihak rumah tahanan mengirim naskahku ke penerbit tapi tetap saja
tidak ada hasil. Semua ditolak. Selama setahun di penjara, aku menghasilkan
ratusan artikel. Semua tersimpan rapi dalam komputer. Ratusan artikel itu
ternyata belum mampu menjadi sebuah buku.
***
Memasuki tahun kedua, kemampuan
menulisku semakin baik. Dalam waktu seminggu aku berhasil menyelesaikan puluhan
artikel dengan berbagai tema. Semangatku untuk terus berkarya semakin berkobar.
Tapi tetap saja tulisanku ditolak penerbit. Aku bingung, sudah ratusan artikel
yang kutulis tak ada satupun penerbit yang mau menjadikannya buku. Hingga suatu
hari Ardi mengunjungiku.
“Tulisanmu sudah kubaca semua lewat
flashdisk yang dibawa istrimu. Semua tulisanmu itu sangat bagus menurutku. Tapi
penerbit sekarang lebih cenderung menerima karya yang inspiratif. Dari dulu
hingga sekarang tulisanmu semua bersifat mengkritik. Kuakui itu memang baik
guna sebagai pembelajaran tapi selera masyarakat saat ini berbeda. Karena sejak
dahulu kamu hanya terpaku menulis artikel, cobalah untuk pindah ke jalur baru
yang menurutku sangat menyenangkan.” Kata Ardi saat bertemu denganku dan
menyerahkan tiga buah novel karya Andrea Hirata.
Tetralogi
Laskar Pelangi menjadi bacaanku sejak itu. Motivasiku melejit, jiwaku kembali
terang benderang. Buku itu membimbingku untuk memahami sebuah kehidupan dengan
bercita-cita setinggi langit. Aku mencoba mencari ide untuk menulis sebuah
novel. Butuh waktu dua bulan menulis novel pertamaku itu kemudian pihak rumah
tahanan tak lelah mengirim karyaku ke penerbit. Hukumanku masih dua bulan lagi.
Aku telah menikmati hari-hariku di penjara, membaca dan menulis menjadi
rutinitasku. Pihak rumah tahanan sangat baik dengan menyediakan fasilitas bagi
narapidana untuk belajar dan berkarya.
Kegiatan
pagi di penjara yaitu membersihkan lokasi tahanan kemudian sarapan. Saat sedang
sarapan aku mendapat kabar dari pihak penjara tentang nasib tulisanku yang
dikirim dua bulan lalu. Novel tentang kehidupan pendidikan anak negeri yang
kutulis dengan tinta cintaku berhasil menggugah hati penerbit. Tulisanku
diterima. Sungguh, hari ini sangat menyenangkan buatku. Mimpi yang telah lama
kurangkai kini terwujud. Meski berada di tempat para orang bersalah, aku
berhasil mewujudkannya.
***
Hatiku
tak kuasa menahan kesedihan kala berjalan keluar dari penjara. Empat tahun
menjalani hukuman membuatku sedih, hukuman yang tak seharusnya kuterima.
Fitnah, ya fitnah. Empat tahun lalu seseorang telah merusak hidupku. Aku telah
memaafkan penjahat itu, meski dia tak pernah sekalipun hadir menjengukku. Empat
tahun aku berkarya tanpa henti, suka duka bersama penghuni tahanan lain dan
juga petugas yang baik hati. Jiwaku telah menyatu dengan tempat dan orang-orang
yang berada di dalamnya. Sungguh, aku sedih bercampur bahagia meninggalkan
tempat ini. Kini, aku benar-benar bebas.
Aku
mengucapkan salam perpisahan kepada kawan dan petugas di penjara. Hukumanku
sudah selesai. Aku akan memulai hidup baru di luar penjara. Air mata tak mampu
kutahan ketika tanganku menjabat beberapa petugas yang baik hati telah
memberikan kesempatan bagiku untuk berkarya. Mereka pahlawan bagiku. Penjara,
kini tinggal kenangan bagiku dan aku berdoa semoga aku tidak kembali ke tempat
orang-orang bersalah ini dengan persoalan hukum.
Di
rumah, keluarga dan tetangga ternyata telah menunggu. Istriku mengadakan acara
syukuran atas bebasnya diriku yang sebenarnya tidak bersalah ini. Sampai di
rumah aku diserbu banyak pertanyaan oleh tetangga yang penasaran dengan
kejadian sebenarnya yang menimpaku. Panjang lebar aku menceritakan semua yang
kualami menjelang masuk penjara hingga bebas. Rasanya, hari yang menyenangkan
menyambutku dengan senyum merekah.
Keesokan
pagi aku menerima kabar yang semakin membuat hati dan jiwaku berbunga-bunga.
Editor penerbit yang telah menerbitkan novel karyaku datang ke rumah dengan
wajah berseri-seri. Editor tersebut mengungkapkan bahwa novelku sejak awal
diterbitkan hingga saat ini masih banyak yang berminat. Bahkan penerbit telah
mencetak ulang karena cetakan pertama telah habis terjual. Mengagumkan. Rasanya
aku tak percaya dengan apa yang diucapkan editor itu, karyaku habis terjual dan
akan dicetak ulang. Itu berarti seluruh Indonesia menyukai novel yang kubuat
dengan penuh cinta itu. Alhamdulillah.
***
Novel
karyaku berhasil menembus angka penjualan yang cukup tinggi. Novel inspiratif
yang menjadi buah bibir para pecinta sastra dan seni. Karyaku jadi best seller. Digemari berbagai kalangan.
Bahkan dalam waktu dekat ini novelku akan jadi sebuah film. Dan aku dijuluki
sebagai Satpam best seller. Kerja
keras, semangat, tekun, tak kenal lelah
dan pantang menyerah menjadi modal utamaku dalam menghadapi kerasnya
kehidupan.
Irwandi Fahruddin
Palopo,
29 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment