Labels

Sunday, September 6, 2015

BECAK JODOH

Sebelumnya aku tak pernah menyangka akan seperti sekarang ini. Dulu, hidupku yang penuh ambisi menjadi orang hebat dan sukses. Masih lekat dalam ingatanku saat masih duduk di bangku sekolah dasar aku bercita-cita menjadi seorang pengusaha sukses dan itu selalu kupegang teguh. Dengan bekal uang seadanya aku mulai mencoba melaksanakan apa yang telah aku cita-citakan. Bekerja sama dengan tetanggaku yang kaya, aku berhasil menjadi pengusaha kecil yang bergerak di bidang makanan. Aku berhasil memproduksi es lilin, es kue, bakso tusuk dan juga bakwan. Sebagai anak tunggal yang orang tuanya petani miskin, aku terus berusaha menjadi orang yang lebih baik.
            Menjadi pengusaha cilik waktu SD menjadi inspirasi bagi teman-teman yang lain. Banyak yang melakukan hal serupa. Menjadi pengusaha di berbagai bidang pun dilakukan oleh anak-anak sebayaku. Banyak dari mereka sukses hingga mampu membiayai sekolahnya sendiri. Dan aku harus mengakui kesuksesan mereka. Usahaku bangkrut karena tak mampu bersaing dengan teman-teman. Hidupku semakin kacau saat harus menerima kenyataan tak mampu melanjutkan sekolah karena terkendala biaya. Berada di sawah bersama bapak menjadi pekerjaanku saat itu.
            Rasanya sungguh menyedihkan kala mengingat masa kecil yang suram itu. Hingga sekarang saat aku menginjak usia 30 tahun pun masih belum berubah. Namun bukan berarti aku sedih dengan keadaanku yang seperti ini, aku masih tetap bersyukur atas hidupku sekarang. Menjadi tukang becak yang bekerja dari subuh hingga malam memberikan kenikmatan tersendiri bagiku. Becak pemberian ayah ini membuatku selalu ceria setiap harinya. Ada atau tidak ada penumpang tak menjadi masalah, intinya aku selalu percaya bahwa masing-masing manusia akan diberi rejeki setiap harinya.
            Becak pemberian ayahku ini bukan becak biasa. Masyarakat lebih banyak tahu bahwa becakku ini becak jodoh. Sudah empat pasangan yang menikah karena aku dan becak ini. Mungkin banyak yang tidak percaya tapi ini nyata. Dengan strategi khusus aku berhasil menjodohkan penumpang langgananku. Ya, semuanya penumpang langgananku.
            Pasangan pertama bernama Sahrul dan Indri. Mereka berdua penumpang langganan pagi hari. Indri seorang wanita muda cantik dan berpenampilan menarik. Rambutnya yang selalu terurai pasti menghipnotis para pria yang melihatnya. Ia selalu mengenakan blazer cantik, rok pendek dan make up sederhana namun tetap terlihat cantik. Indri bekerja di sebuah perusahaan penerbit buku dan pukul 05.30 pagi sudah harus berangkat ke kantor yang letaknya lumayan jauh dari rumahnya. Ia tinggal di sebuah rumah kos dekat perumahan. Pukul 05.30 pagi pula aku sudah berada di depan rumahnya. Indri menjadi penumpang pertamaku setiap pagi di hari kerja. Beruntung rumahku jaraknya tak terlalu jauh dari rumahnya jadi bisa datang tepat waktu. Keakraban di antara kami pun terjalin. Bukan hanya antara penumpang dan tukang becak melainkan teman akrab. Saat Indri pulang kerja di malam hari pun tetap menumpangi becakku. Tentu setiap hari aku sudah mendapat penghasilan tetap dari seorang penumpang.
            Empat bulan Indri jadi langgananku. Anehnya hanya dia seorang yang mau jadi langgananku. Yang lain hanya penumpang biasa, sekali naik berikutnya tidak lagi. Bulan kelima langgananku bertambah satu orang. Ia tinggal di salah satu perumahan tak jauh dari tempat tinggalku. Awalnya Sahrul menumpangi becakku saat aku lewat di depan kantornya usai mengantar Indri. Seperti halnya penumpang lain, Sahrul kuajak berbincang. Perbincangan kami seputar permasalahan ekonomi masyarakat Indonesia, ia merasa heran dengan pengetahuanku tentang masalah ekonomi.
            “Mas kok tau banyak tentang masalah ekonomi? Jangan-jangan Mas ini sarjana yang jadi tukang becak? Hehehehe.” Tanyanya diiringi tawa lepas.
            “Aku hanya tamat SD.’ Jawabku ringan.
            “Tapi dari pengetahuan Mas, sepertinya bukan hanya tamatan SD .” Ia makin penasaran denganku.
            “Benar, aku hanya tamatan SD. Aku memperoleh berbagai macam pengetahuan dengan membaca. Buku dan koran menjadi santapanku setiap hari. Saat penumpang sepi, aku duduk di becak ini dengan membaca buku.”
            “Wah Mas ini hebat ya. Jarang lho seorang tukang becak yang cerdas. Aku suka berbincang dengan Mas. Oh ya kalau boleh tau namanya siapa ya?” tanya Sahrul yang mulai tertarik dengan wawasan yang kumiliki.
            “Haerul.” Kataku.
            “Namaku Sahrul, salam kenal ya.”Balasnya. “Oh ya Mas Haerul, boleh tidak aku menumpang becak ini setiap hari. Hmmm maksudku menjadi langganan gitu.”
            “Oh boleh, mau di antar pulang pergi juga boleh. Emang Mas berangkat jam berapa?”
            “05.30 pagi.” Jawabnya.
            Aku sempat berpikir menerima tawaran dari Sahrul. Aku bingung karena Indri juga berangkat pukul 05.30 pagi. Lama berpikir ide brilianku pun muncul. Indri seorang wanita cantik dan Sahrul lelaki tampan. Pagi itu aku berangkat menuju rumah kos Indri guna menjemputnya. Kemudian aku berbelok masuk ke perumahan.
            “Lho, kok masuk ke perumahan?”
            “Dek Indri nggak usah khawatir, Cuma sebentar kok.”
            “Ini rumah siapa?” tanyanya lagi saat becakku sampai di rumah Sahrul.
            “Begini Dek Indri, kemarin aku baru dapat langganan baru. Waktu berangkat kalian sama, nah karena tidak ingin kehilangan salah satu langganan biar adil aku jemput dua-duanya sekalian. Jadi sekali berangkat dua penumpang menghiasi becakku. Gitu.”
            Mereka berdua tidak menolak tawaranku. Sahrul dan Indri menjadi penumpang pertamaku di pagi hari dan juga penumpang terakhirku di malam hari. Seiring berjalannya waktu, keakraban mereka berdua terjalin. Aku sering diajak makan dan nonton, tentu aku tidak menolak. Sesekali kami bertiga menelusuri mall di Jakarta. Toko buku menjadi tempat favorit kami. Beruntung dua langgananku ini gemar membaca, membuatku semakin nyaman bersama mereka.
            Suatu malam saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah, aku mendengar hal yang tak kuduga. Dengan suara sedikit berbisik, Sahrul mengatakan sesuatu pada Indri. Karena penasaran, aku menguping pembicaraan mereka. Wajah Indri terlihat merah padam, sementara Sahrul mencoba tetap tenang. Becak terus kukayuh dengan kecepatan sedang dan aku masih terus menyimak oborlan mereka. Dan saat Indri mengatakan “Iya” teriakan Sahrul membuatku tersentak, nyaris becak terperosok ke dalam selokan. Aku tersenyum bahagia melihat Sahrul dan Indri. Mereka resmi menjadi sepasang kekasih malam itu di atas becakku. Setiap hari menjadi sangat berwarna bagi Sahrul dan Indri, juga bagiku.
***
            Sudah hampir sebulan becakku kosong setiap pukul 05.30 pagi. Dua orang langgananku menghilang entah kemana. Kata pemilik kos, Indri sudah pindah. Sementara Sahrul pulang kampung. Aku semakin jarang menginjakkan kaki di toko buku gramedia. Sebenarnya aku bisa kesana sendiri tapi sangat aneh tanpa Sahrul dan Indri. Aku merindukan saat-saat kami bertiga belanja buku kemudian mendiskusikannya di hari minggu. Aku selalu dianggap aneh oleh mereka berdua karena baru kali ini mereka kenal dengan tukang becak yang gemar membaca dan mengoleksi buku. Bagiku ilmu pengetahuan itu untuk siapa saja, tidak ada batasan. Tidak sekolah bukan berarti berhenti mempelajari ilmu pengetahuan. Yang terpenting adalah keinginan. Ah, aku merindukan Sahrul dan Indri.
***
            Malam hari aku duduk di atas becak yang kuparkir di depan rumah aku membaca buku yang diberikan Indri. Memang kebiasaanku usai menarik becak yakni membaca buku di bawah cahaya lampu yang khusus kubuat. Lampu tersebut terletak di atap becak sehingga memudahkanku dalam membaca. Untuk bisa menyalakannya aku menyambungkan kabel panjang ke saklar di dalam rumah.
            Sebuah buku biografi salah seorang pengusaha sukses di Indonesia menjadi santapanku malam itu. Buku inspiratif yang membangkitkan motivasi setiap orang yang membacanya, termasuk aku. Sedang asyik membaca, aku tersentak dengan apa yang kusaksikan.
            “Selamat malam Mas Haerul. Gimana kabarnya?” Indri menyapaku dengan senyum khasnya.
            “Alhamdulillah baik, Dek Indri dan Sahrul sendiri gimana kabarnya?”
            “Kami juga baik Mas.”
            “Oh ya, kedatangan kami disini ingin menyampaikan kabar bahagia.” Kata Sahrul.
            “Kalian mau menikah?”
            “Tepat sekali Mas. Insya Allah minggu depan kami berdua melangsungkan pernikahan. Datang ya Mas.”
            “Insya Allah.”
            Malam itu menjadi malam yang sangat berbahagia bagiku. Kawan terbaikku datang membawa kabar bahagia. Seperti biasa kami melakukan diskusi panjang lebar dengan berbagai permasalahan. Tak lupa kopi susu buatan istriku menjadi penghias malam diskusi itu. Kulihat wajah bahagia dari Sahrul dan Indri. Sebentar lagi mereka akan melangsungkan pernikahan. Sahrul dan Indri pertama kali berjumpa di atas becak yang selama ini menjadi sumber penghidupanku. Becak sederhana pemberian ayah, becak sejarah bagiku, bagi Sahrul dan Indri.
***
            Hari ini aku berada di acara pernikahan penumpangku. Langganan yang berhasil merajut cinta dari pertemuan pertama di atas becak. Setelah pernikahan Sahrul dan Indri, aku seperti menjadi biro jodoh dengan mencari langganan yang bisa menjadi sepasang kekasih. Berbagai cara kulakukan agar langgananku yang masih lajang mendapat pasangan. Berbagai cara tersebut terbukti mampu menjodohkan penumpang langgananku. Mereka pertama kali bertemu di atas becak, menyatakan cinta di atas becak, kemudian menikah. Ini bukan suatu kebetulan melainkan takdir dari Tuhan. Becak Jodoh terkenal dimana-mana. Dulu Becak Jodoh hanya satu buah, sekarang bertambah jumlahnya menjadi empat puluh buah. Alhamdulillah, cita-citaku menjadi pengusaha sukses tercapai. Selain menjadi pemilik Becak Jodoh, aku juga mendirikan toko buku dengan nama Toko Buku Sederhana. Toko buku itu aku rintis bersama Sahrul dan Indri.

Irwandi Fahruddin
Palopo, 4 April 2013

No comments:

Post a Comment