Labels

Saturday, September 5, 2015

MAKNA LAGU PANDE TONGANTU NENE’TA KARYA H.B SIBENTENG DALAM KONTEKS MASYARAKAT LUWU


Berikut isi dan arti dari lagu Pande Tongantu Nene‟ta :


Pande tongantu nene‟ta Sawerigading
Sukku tongan paissenna toriolota
Pande untandai tana, tana marongko
Unnissen padang marua tana masakke
Natandai lana lipu, lipu Wara
Naganta lana pa‟lewon, Palopo e
Pa‟lewonri belo-belo, salassa‟na
Lipu dilonga-longai, banuanna
Suruganna tongan lino, Tana Luwu
Belo-belona lempangan Palopo e
Napobelo belo mata, sininna tau
Napomarannu mario, sang lino e


Terjemahan:
Sungguh pandai/ahli nenek kita Sawerigading
Sangat sempurna pengetahuannya pendahulu kita
Sangat ahli menentukan daerah, tanah yang subur
Yang mengetahui tanah yang subur, tanah yang sejahtera
Ditentukan (dipilih) sebagai tempat kediaman, Wara
Ditentukan (dipilih) sebagai tempat kediaman, palopo
Tempat yang sangat indah, rumahnya
Tempat yang sangat indah, rumahnya
Surganya dunia, Tana Luwu
Tempat persinggahan yang indah, palopo
Pandangan yang menawan, semua manusia
Menjadikan kegembiraan seluruh dunia
(Wawancara dengan H.B Sibenteng, 29 Mei 2012 lokasi di kediamannya).


Untuk lebih memperjelas tentang isi lagu di atas, berikut pemaparan maknanya secara naratif dari setiap bait syair lagu:
Bait pertama:
Pande Tongantu Nene‟ta Sawerigading
Sukku tongan paissenna toriolota
Pande untandai tana, tana marongko
Unnissen padang marua tana masakke
Terjemahan:
Sungguh pandai/ahli nenek kita Sawerigading
Sangat sempurna pengetahuannya pendahulu kita
Sangat ahli menentukan daerah, tanah yang subur
Yang mengetahui tanah yang subur, tanah yang sejahtera
Baris pertama dengan bunyi Pande Tongantu Nene‟ta Sawerigading terdapat kata pandai. Pandai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang mampu melakukan sesuatu, pandai juga memiliki arti pintar atau cerdas. Kata pandai dalam lagu ini ditujukan kepada nenek dari masyarakat Luwu. Nenek di sini bukan dalam makna sebenarnya, nenek memiliki makna leksikal ibu dari ayah atau ibu. (KBBI,) namun dalam lagu ini kata nenek memiliki makna nenek moyang/leluhur yaitu Sawerigading. Kata nene‟ dalam masyarakat Luwu berarti nenek wanita atau kakek, jadi Sawerigading dapat dikatakan nenek moyang dari masyarakat Luwu. (R.A Kern.1993:15).
Idwar Anwar dalam buku Sejarah Kebudayaan Luwu (2010:16) mengatakan bahwa arti dari kata nene‟ dalam bahasa Luwu adalah nenek laki-laki yaitu ayah dari ibu. H.B Sibenteng mengatakan bahwa kepandaian nenek moyang Luwu yakni Sawerigading tak tertandingi karena ia memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai hal. (Wawancara dengan H.B Sibenteng, 29 Mei 2012, lokasi di kediamannya Perumahan RSS Balandai Kota Palopo).

Makna konotasi dalam kalimat Pande Tongantu Nene‟ta adalah kelebihan/kehebatan yang dimiliki nenek moyang Luwu tak ada yang mengalahkan atau dengan kata lain nenek moyang masyarakat Luwu adalah yang terhebat di seluruh dunia. Kata Sawerigading dikonotasikan dengan bambu gading yang menetas/orang berasal dari bambu gading yang menetas.
Sedangkan makna denotasi dalam kalimat Pande Tongantu Nene‟ta adalah sungguh pandai/ahli nenek kita. Makna leksikal (kosakata) kata kita mengandung makna seluruh masyarakat Luwu tanpa terkecuali. Maksud dari nenek kita mengarah pada sosok Sawerigading.
Sukku tongan paissenna toriolota memiliki arti tentang pengetahuan yang dimiliki Sawerigading bagi masyarakat Luwu sangat sempurna. Sukku tongan paisenna dikonotasikan dengan manusia yang paling sempurna pengetahuannya di dunia, manusia lain yang dikatakan memiliki pengetahuan luas pun tak mampu menandingi pengetahuan yang dimiliki Sawerigading. Sawerigading adalah orang yang paling cerdas, pengetahuan sempurna bagi masyarakat Luwu. Hal ini berhubungan erat dengan baris ketiga dimana Sawerigading sangat ahli dalam menentukan daerah di Luwu kemudian anggota masyarakat yang juga sepupu Sawerigading memilih tempat yang sesuai dengan hati nuraninya. Sepupu Sawerigading yang berjumlah empat puluh orang pada saat itu terbagi dalam memilih tempat tinggal seperti ke Rongkong (Luwu Utara), Bastem (Luwu), Seko (Luwu Utara), Malangke (Luwu Utara), Pamona (Sulawesi Tengah), Wotu (Luwu Timur), Baebunta (Luwu Utara), Kota Palopo, dan masih banyak lagi daerah yang dipilih oleh sepupu Sawerigading.
Tanah yang subur berkonotasi pada diri Sawerigading terutama dalam hal pengetahuan. Jadi otak Sawerigading dikonotasikan sebagai tanah yang subur karena memiliki pengetahuan yang luas sehingga mampu dalam
menentukan berbagai tempat di Luwu. Sawerigading mampu menentukan daerah yang menjadi tempat tinggalnya. Sawerigading melihat betapa indahnya Tana Luwu sehingga ia memilih beberapa tempat yang sangat indah sebagai tempat hidupnya. Ia tidak memberi nama pada tempat yang pernah ditinggalinya, yang dipercaya memberi nama pada tempat yang pernah didatangi adalah para sepupu Sawerigading. (Wawancara dengan H.B Sibenteng, 29 Mei 2012 di kediamannya).
Kondisi alam Luwu sangat subur dengan berbagai macam tanaman yang dapat tumbuh di atasnya. Karena itulah Kedatuan Luwu dikenal dengan semboyan “Wanua Mappatuo Naewai Alena” yang dapat diartikan “Wilayah yang mampu menghidupi dan mampu menolong dirinya sendiri.” Ungkapan ini sangat tepat ditujukan untuk Luwu yang memiliki tanah yang subur dan memiliki potensi yang cukup besar dengan wilayah yang sangat luas dan menyimpan begitu banyak kekayaan alam.
Masyarakat memberi pemaknaan (makna konotasi) pada bait pertama bahwa kata pandai adalah cermin bagi pemerintah di Luwu (Kabupaten Luwu) saat ini bahwa lagu ini juga ditujukan untuk mereka. Maksudnya, pemerintah Kanupaten Luwu dalam lagu ini diibaratkan Sawerigading yang selalu mampu melakukan sesuatu yang baik untuk daerahnya. Pemerintah harus bisa merawat warisan nenek moyang seperti halnya Sawerigading menjaga kestabilan Tana Luwu pada zaman dahulu. Intinya bait pertama dengan kata kunci pandai bukan
hanya ditujukan untuk Sawerigading akan tetapi untuk semua pemimpin di Luwu. (Wawancara dengan H.B Sibenteng, 29 Mei 2012).

Bait kedua:
Natandai lana lipu, lipu Wara
Naganta lana pa‟lewon, Palopo e
Pa‟lewonri belo-belo, salassa‟na
Lipu dilonga-longai, banuanna
Terjemahan :
Ditentukan (dipilih) sebagai tempat kediaman, Wara
Ditentukan (dipilih) sebagai tempat kediaman, palopo
Tempat yang sangat indah, rumahnya
Tempat yang sangat indah, rumahnya

Bait kedua dalam pemaknaannya hanya dua baris karena baris ke-1 dan ke-2 maknanya sama sementara baris ke-4 dan baris ke-5 juga maknanya sama. Bentuk kebanyakan syair rakyat zaman dahulu menurut H.B Sibenteng memang terkadang dalam dua kalimat memiliki makna yang sama yang biasa juga disebut syair berpasang-pasangan (sinonim). Natandai lana lipu, lipu wara sinonim dengan naganta lana pa‟lewon, palopo e memilki makna ditentukan (dipilih) sebagai tempat kediaman sedangkan pa‟lewonri belo belo, salassa‟na sinonim dengan lipu dilonga longai banuanna memiliki makna yang sama yaitu tempat yang sangat indah. Tempat kediaman dalam makna denotatif (makna sebenarnya) adalah rumah tempat tinggal namun dalam lagu ini tempat
kediaman dikonotasikan sebagai daerah/wilayah. Berdasarkan data yang diperoleh, tempat kediaman pada baris pertama dan kedua dikonotasikan dengan daerah yang ada di Luwu yaitu Ware‟ atau Palopo, keduanya memiliki makna yang sama, hanya penyebutannya yang berbeda. Makna denotasi dari tempat kediaman adalah tempat tinggal atau rumah. Dalam sejarah Luwu satu daerah biasanya memiliki lebih dari satu nama. Dalam lagu Pande Tongantu Nene‟ta, daerah yang dipilih oleh Sawerigading sebagai tempat tinggalnya adalah Malangke, Malili, Wotu, Ware’ atau Palopo yang menjadi pusat kerajaan Luwu pada saat itu, dan daerah lainnya. Hal ini karena Sawerigading memang lahir di Luwu dan sering mengembara di setiap daerah baik itu Luwu maupun di luar Luwu. Bait kedua ini maknanya lebih mengarah kepada daerah Ware’ yang diberi julukan tempat yang sangat indah. Ware‟ dan Palopo memiliki makna melintang dan juga sebagai simbol yang berarti mengatasi. Memang jika melihat kenyataannya, Kota Palopo atau wilayah Kecamatan Wara melintang membuat garis yang mengatasi pembedaan ruang kedatuan: Palopo Selatan dan Palopo Utara (ini sedikit menafikan bahwa nama Ware‟ sudah ada sebelum ibu kota Kedatuan Luwu pindah ke Palopo). Jika ingin menelusuri nama Palopo, maka dapat dilihat dalam kitab galigo. Tempat yang sangat indah berasosiasi (makna asosiatif) dengan rumah masyarakat Luwu yang disebut dengan Salassa‟ atau Banua (Bola). Kata rumah dalam lagu Pande Tongantu Nene‟ta dikonotasikan dengan daerah Luwu secara keseluruhan. Jadi daerah Luwu adalah rumah rakyat Luwu di mana langit
sebagai atapnya dan keindahan alam sebagai perabot rumah. Salassa‟/Banua adalah rumah dalam makna denotatif namun keduanya memiliki perbedaan. Banua (Bola) adalah istilah atau nama yang dipakai untuk menyebut tempat tinggal rakyat biasa sedangkan Salassa‟ adalah rumah yang ditempati oleh keturunan raja atau kaum bangsawan. Salassa‟ juga biasa disebut dengan Sao raja. Lebih lanjut H.B Sibenteng menjelaskan bahwa tempat yang sangat indah dihiasi dengan rumah yang indah pula karena masyarakat akan hidup dan mati di daerah Luwu. Setiap rumah masyarakat dibuat sedemikian rupa dengan ciri khas rumah Luwu. (Wawancara dengan H.B Sibenteng, 29 Mei 2012 di kediamannya Kompleks Perumahan RSS Balandai Kota Palopo).

Dalam konteks memandang keberadaan dunia, masyarakat Luwu kuno melihat bahwa dunia ini terbagi dalam tiga tingkatan yakni Dunia Atas (Boting Langi‟), Dunia Tengah (Ale Kawa‟), dan Dunia Bawah (Uri‟ Liu;). Berdasarkan pandangan itulah, maka konsep pembangunan rumah (Banua) masyarakat Luwu dirumuskan pada bagian rumah yang masing-masing dipandang hampir sama dengan pandangan tentang dunia. Dalam pembagian rumah, masyarakat Luwu mengenal tiga bagian rumah yakni: awa bola (bagian bawah/kolong rumah), ale bola (badan/tengah rumah) dan rakkeang (bagian atas dari rumah yang meliputi loteng dan atap). Kedua model rumah ini juga mempunyai atap berbentuk prisma dan memakai tutup bubungan yang disebut timpa‟ laja‟. Jumlah timpa‟ laja‟ ini merupakan satu yang membedakan status sosial penghuninya. Masyarakat Luwu membagi bagian ale bola menjadi tiga yakni;
ruang depan (tamu), ruang tengah (keluarga) dan dapur. (Idwar Anwar.2010: 88).
H.B Sibenteng juga mengatakan bahwa makna salassa‟ dan banua sebagai rumah yang memiliki berbagai macam ragam hias. Rumah seperti itu adalah ciri khas masyarakat Bugis pada umumnya dimana setiap rumah memiliki ragam hias/ukiran untuk memperindah rumah. Ada beberapa jenis ragam hias yang biasa digunakan di setiap rumah masyarakat Luwu diantaranya ragam hias flora, ragam hias fauna, ragam hias alam dan kaligrafi. Pada zaman dahulu semua rumah yang ada di Luwu memiliki ragam hias yang bermacam-macam dan memiliki makna yang berbeda dari setiap motif yang digunakan. Saat ini rumah-rumah khas Luwu yang memiliki ragam hias sudah berkurang karena saat ini kebanyakan rumah penduduk bukan lagi rumah panggung tapi sudah berubah menjadi rumah batu. Rongkong dan Seko di Luwu Utara menurut H.B Sibenteng masih banyak masyarakat yang mempertahankan tradisi rumah Luwu, di sana rumah yang memiliki ragam hias masih banyak terlihat. (Wawancara dengan H.B Sibenteng, 29 Mei 2012 di kediamannya).
Bait ketiga :
Suruganna tongan lino, Tana Luwu
Belo-belona lempangan Palopo e
Napobelo belo mata, sininna tau
Napomarannu mario sang lino e
Terjemahan :
Surganya dunia, Tana Luwu
Tempat persinggahan yang indah, palopo
Pandangan yang menawan semua manusia
Menjadikan kegembiraan seluruh dunia

Bait ketiga menceritakan tentang Tana Luwu. Baris pertama yang berbunyi suruganna tongan lino, tana Luwu memiliki makna (makna denotasi) bahwa Luwu adalah surga dunia. Orang-orang yang pernah menginjakkan kakinya di Luwu pasti mendapatkan suatu kebahagiaan dan memuji keindahan yang ada dalam wilayah Tana Luwu layaknya berada dalam surga. Tana Luwu diasosiasikan (makna asosiasi) dengan surga karena segala kenikmatan akan diperoleh saat menginjakkan kaki di Tana Luwu. Semua orang yang menginjakkan kakinya di Luwu semua pasti bahagia. Palopo adalah tempat persinggahan yang sangat indah (napobelo-belo mata palopo e). Maksudnya jika orang-orang yang melakukan perjalanan dari arah selatan (Makassar misalnya) menuju arah utara (Sulawesi Tengah misalnya) sudah pasti tempat istirahat sebelum melanjutkan perjalanan adalah Palopo. Hal ini karena Palopo tersedia berbagai macam kebutuhan baik dalam bentuk makanan maupun dalam bentuk barang. Kata palopo yang saat ini menjadi Kota Madya dikonotasikan sebagai tempat yang sangat indah untuk sekedar tempat istirahat atau tempat persinggahan orang-orang yang melakukan perjalanan jauh. (Wawancara dengan H.B Sibenteng, 29 Mei 2012, lokasi di kediamannya).
. Luwu adalah daerah yang memiliki beraneka ragam keindahan alam, sumber mata pencaharian, laut, dan lain sebagainya. Selain itu sistem dalam masyarakat juga menjadi salah satu bentuk keindahan sehingga wajar bila Luwu dikatakan sebagai surga dunia. Ada beberapa sistem yang kehidupan di masyarakat Luwu yaitu sistem religi, sistem pengetahuan, sistem sosial kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem peralatan dan teknologi. Masyarakat Luwu menganut paham tentang Dewata Seuae yang merupakan kepercayaan masyarakat bahwa di alam ini ada kekuatan yang paling utama yang menggerakkan semua yang ada. Selain sebagai suatu kepercayaan, pandangan tentang Dewata Seuae juga merupakan salah satu unsur dari sistem pengetahuan masyarakat Luwu yang terbangun selama berabad-abad yang lalu. Untuk sistem kemasyarakatan Luwu, dikenal 3 lapisan masyarakat yakni anakarung (bangsawan), to maradeka (lapisan rakyat jelata) dan ata (hamba sahaya) dalam ruang lingkup bahasa, masyarakat Luwu saat ini dominan menggunakan bahasa Bugis-Toraja (bahasa Tae-Tae) sedangkan kesenian/sastra terbagi atas Sure‟, Tolo‟, Pau-Pau, Elong, Osong, dan Seno. Sistem mata pencaharian hidup masyarakat Luwu yaitu bertani, berdagang dan menjadi nelayan sedangkan sistem peralatan dan teknologi seperti mengolah besi untuk persenjataan, terampil membuat perahu, dan lain sebagainya.
Makna denotasi kata pandangan dalam lagu ini adalah melihat (penglihatan) sedangkan kata menawan memiliki makna denotasi takjub,
kagum, atau memuji. Jadi makna konotasi dari kalimat pandangan yang menawan adalah melihat Luwu dengan rasa kagum, takjub atau memuji. Pandangan yang menawan bagi semua manusia adalah salah satu tanda keindahan yang dimiliki Tana Luwu. Makna konotasi pandangan yang menawan bagi semua manusia adalah Luwu dilihat sebagai daerah atau wilayah yang sangat sempurna dengan sejumlah keindahan dan kenikmatan di dalamnya. Semua daerah yang ada di Tana Luwu memiliki berbagai macam keindahan yang membuat orang merasa tenang dan senang saat berada di Tana Luwu. Makna dari kalimat pandangan yang menawan bagi semua manusia adalah hamparan luas wilayah yang dimiliki lengkap dengan pemandangan yang indah baik dari segi pegunungan, sungai yang jernih, laut yang luas dan indah, mata pencaharian, dan juga perilaku masyarakat yang mendiami Luwu. Lebih lanjut dikatakan bahwa Tana Luwu mampu menggembirakan manusia di seluruh dunia (makna denotasi). Makna konotasi dari kalimat pada baris keempat ini adalah penghuni Tana Luwu yang beragam, bukan hanya masyarakat Luwu asli namun juga beberapa etnis di Sulawesi maupun etnis di luar Sulawesi juga banyak yang menetap di Luwu sementara warga negara asing banyak yang berkunjung ke Tana Luwu.
Pesan utama yang ingin disampaikan H.B Sibenteng dalam lagu Pande Tongantu Nene‟ta adalah memberikan apresiasi kepada masyarakat untuk mengetahui nenek moyang Luwu dalam hal ini adalah Sawerigading yang sangat ahli dalam menentukan tempat yang sekarang menjadi tempat hidup
masyarakat Luwu. Selain itu lagu Pande Tongantu Nene‟ta juga sebagai bahan perenungan para pemerintah daerah agar mampu menjaga kelestarian pendidikan, budaya, kesenian maupun alam yang ada di Tana Luwu. (Wawancara dengan H.B Sibenteng, 29 Mei 2012).

No comments:

Post a Comment