Labels

Saturday, September 5, 2015

GUA RINDU PUANG MASSAWAE

Angin bertiup sejuk menyerang sekumpulan mahkluk bernyawa, menggerakkan setiap tetesan embun dari wajah sang langit. Kicauan burung menggema melantunkan nada syahdu yang membuat indera pendengar terasa merasuki jiwa yang dalam. Mentari menunjukkan kekejamannya, pagi yang seharusnya sejuk menjelma menjadi merah membara layaknya sebentuk api.
Pagi itu aku masih menikmati segelas keharuman hidangan yang khusus dibuatkan ibu untukku. Ini sering dilakukan ibuku saat aku hendak berangkat mendaki gunung. Ibu selalu senang jika aku hendak melangkahkan kaki menjadi pecinta alam sejati. Dukungan penuh menjadi semangatku.
            Usai menyantap beberapa menu makanan dan menyiapkan segala keperluan mendaki aku siap menuju sekret tempat teman-teman berkumpul. Aku pamit kepada ibuku dengan meminta doa agar aku selalu dalam lindungan Tuhan. Aku begitu heran ketika tiba di sekret, banyak anggota dan pengurus yang akan berangkat. Itu tak seperti biasanya. Semua berkemas mengumpulkan segala kebutuhan yang diperlukan.
            Hasil dari kesepakatan untuk kunjungan wisata mendaki gunung adalah sebuah gua di kecamatan Walenrang. Kami memilih Gua Puang Massawae di Desa Tombang Kabupaten Luwu. Seluruh dari kami tak satupun yang bpernah menginjakkan kaki di gua tersebut. Ada rasa khawatir yang menyelinap ke dalam relung jiwa seluruh anggota, namun dengan semangat dari ketua membuat nyali seluruh anggota kembali bersinar. Ketua sudah memiliki salah seorang warga untuk membimbing kami melintasi gua itu.
            Sebelum berangkat seperti biasanya kami mendengar arahan dari sang ketua dan kemudian berdoa. Hari itu kami berangkat menuju lokasi dengan berjalan kaki sepanjang 20 KM. Rasa lelah sering menyerang setiap langkah. Semangat yang mengantar seluruh anggota menjadi kuat.
            Aku dan rekan pecinta alam yang lain tiba di Desa Tombang dengan selamat namun penuh rasa lelah. Sejenak merebahkan tubuh sambil menunggu arahan dari salah seorang warga yang bersedia menemani kami menyusuri gua. Dalam penat pikiranku tiba-tiba tertuju pada beberapa bungkusan yang berisi makanan dalam tas. Tanpa pikir panjang aku dan teman-teman menyantap bersama.
            “Semua siap, sekaranglah saatnya kita melangkahkan kaki menaklukkan alam untuk bersahabat dengan kita.” Teriakan semangat dari sang ketua.
            “Siap, alam adalah sahabat kita semua.” Semua meneriakkan semangat.
            “Baiklah sebelum berangkat mari kita berdoa demi keselamatan kita semua.”
            Semua melangkah dengan hati berbunga-bunga karena perjalanan ini akan menambah sejarah dalam hidup kami semua. Dalam langkah aku menyaksikan panorama alam yang sangat indah. Pohon berdiri dengan tegak, rumput hijau segar menyapaku dengan senyuman. Diriku begitu menyatu dengan alam sahabat hidupku selama ini. Untuk mencapai tujuan kami harus melewati rintangan jalan berbatu dan menanjak tajam dengan jurang disampingnya. Berbahaya memang, tapi pengalaman membuat semua kami taklukkan.
            Perjalanan panjang penuh rintangan itu berakhir setelah kami memandang batu besar di hampir seluruh sudut gunung yang memancarkan pesonanya. Gua Puang Massawae melebihi keindahan alam yang pernah kami sakasikan sepanjang hidup. Semua memuji keindahan yang ditampakkan oleh alam ini. Rasa kagum tak hentinya terlontar dari mulut seluruh yang menyaksikannya.
Kami dituntun masuk ke dalam dengan hati-hati. Aku mendengar suara kehidupan ketika mulai menginjakkan kaki ke dalam gua itu. Beberapa jenis binatang hidup dalam gua itu. betapa herannya aku ketika melihat beberapa ekor monyet yang dengan riangnya bermain di dalam gua. Tak ketinggalan beberapa ekor ayam yang terbang menyusuri gelapnya gua. Aku hendak memberitahukan kepada teman-teman yang lain bahwa aku menyaksikan sesuatu yang langka. Aku kagum dibuatnya.
Berniat menyapa teman-teman yang sedari tadi berjalan beriringan aku tiba-tiba dikagetkan oleh kesunyian. Tak satupun yang terlihat, pikirku mungkin semua berjalan cepat jadi aku ketinggalan karena sedang asyik melihat pesona yang ada. Aku memutuskan untuk terus berjalan mengejar rekanku yang telah lebih dahulu melangkah. Waktu terus berlalu, aku terus berjalan namun tak seorangpun aku temukan. Perasaan khawatir mulai menyelimuti rasaku, kini aku sendiri dalam gelap.
Aku mulai merasakan panas yang dikeluarkan gua itu, keringat mengucur deras dari tubuhku. Cahaya senter yang sudah berjam-jam menerangiku perlahan mulai redup, tak ada persediaan yang lain selain senter itu. Takut menyerang jiwaku. Tak bisa ku bayangkan berada dalam gelap seorang diri. Aku terus berjalan dan terus berjalan. Cahaya senter tiba-tiba menghilang, kini aku berteman dengan kegelapan. Aku berhenti kemudian duduk meratapi nasib yang menimpaku. Ingin kembali tapi terlanjur jauh dan gelap.
Dalam kegelapan aku melihat sedikit cahaya dari kejauhan yang tampak menuju ke arahku. Rasa takut mulai surut dari diriku ketika disapa oleh sosok tua yang melangkah dengan tegak membawa cahaya yang entah darimana. Seluruh tubuhnya terang, aku mencari-cari asal pncaran cahaya itu namun tak jua ku temukan. Sosok orang tua dengan jenggot putih tebal mengenakan baju muslim dilengkapi kopiah hitam itu begitu ramah menyapaku.
            “Apa muala inde’te kallolo1 ?” Tanya orang tua itu dengan bahasa tae-tae asli Desa Tombang. Beruntung aku menguasai bahasa itu karena kebanyakan teman sering berbicara menggunakan bahasa itu ketika sedang berkumpul. Kakek tua itu menanyakan apa yang sedang ku lakukan di gua itu.
            “Rampona mendaki, nasaba’ pecinta alamna akunna2.” Jawabku.
            “Bacaki’ istigfar.” Usai mengucapkan kata itu orang tua itu menghilang. Kembali aku berada dalam kegelapan. Segera aku menuruti kata orang tua tadi. Aku membaca istighfar berkali-kali sambil menutup mata. Betapa kagetnya aku saat membuka mata. Aku berada dalam sebuah rumah yang begitu besar dan megah. Aku kemudian mengucapkan istighfar dengan menutup mata, saat membuka mata kembali aku berada di tempat lain. Kali ini aku berada di sebuah hutan. Yang terlihat hanya beberapa ekor monyet dan ayam seperti yang ku lihat ketika masih berada di gua itu. Berkali-kali aku mencoba memejamkan mata sambil membaca istighfar, namun kali ini aku tetap berada di hutan.
            Kala itu aku hidup sendiri, mencari makan dari buah yang ada dalam hutan tersebut. Aku membuat rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggal. Pasrah adalah pilihan yang ku jalani. Tiap saat aku memohon kepada Tuhan agar aku kembali ke duniaku yang dulu bersama keluarga. Kini aku sendiri. Hari demi hari aku lewati dalam kesendirian.
            Hingga suatu saat aku berjalan mencari makan tak sadar tiba-tiba aku sudah berada di depan pintu masuk gua yang telah membuatku tersesat. Ingin masuk tapi rasa takut menyelimutiku. Aku mencoba mengingat jalan pulang kembali ke desa namun semua telah hilang dalam benakku. Aku menyusuri sekitar gua untuk mengingat jalan pulang. Di tengah kesibukanku mencari datang seorang berwajah agak seram dengan badan yang besar, orang itu menyapaku. Aku menjelaskan semua yang terjadi kepadaku. Orang itu mengantarku kembali ke Desa Tombang.
            Hari itu aku disambut warga dengan perasaan senang. Banyak yang bertanya tentang apa saja yang terjadi denganku selama menghilang. Aku tersesat di dalam gua kemudian tinggal di hutan selam satu bulan. Konon yang membuatku tersesat adalah saat aku melihat beberapa ekor binatang kemudian menegurnya bahkan menyentuhnya. Aku melanggar perkataan dari seorang warga yang menuntun kami masuk ke gua itu bahwa jika melihat sesuatu yang aneh jangan menegurnya karena akan berdampak negatif pada diri sendiri. Aku kembali menjalani hariku bersama keluarga dan rekan pecinta alam yang telah sebulan khawatir mencariku.
            Kini sepuluh tahun berlalu kembali aku merindukan gua itu. Gua Puang Massawae.

           Irwandi Fahruddin 
5 Februari 2012

1. ”Untuk apa datang kesini anak muda ?”

2. “Saya datang kesini dalam rangka mendaki karena saya adalah pecinta alam.”

No comments:

Post a Comment