Angin bertiup sejuk menyerang sekumpulan mahkluk bernyawa,
menggerakkan setiap tetesan embun dari wajah sang langit. Kicauan burung
menggema melantunkan nada syahdu yang membuat indera pendengar terasa merasuki jiwa
yang dalam. Mentari menunjukkan kekejamannya, pagi yang seharusnya sejuk
menjelma menjadi merah membara layaknya sebentuk api.
Pagi itu aku masih menikmati segelas keharuman hidangan yang khusus
dibuatkan ibu untukku. Ini sering dilakukan ibuku saat aku hendak berangkat
mendaki gunung. Ibu selalu senang jika aku hendak melangkahkan kaki menjadi
pecinta alam sejati. Dukungan penuh menjadi semangatku.
Usai menyantap
beberapa menu makanan dan menyiapkan segala keperluan mendaki aku siap menuju
sekret tempat teman-teman berkumpul. Aku pamit kepada ibuku dengan meminta doa
agar aku selalu dalam lindungan Tuhan. Aku begitu heran ketika tiba di sekret,
banyak anggota dan pengurus yang akan berangkat. Itu tak seperti biasanya.
Semua berkemas mengumpulkan segala kebutuhan yang diperlukan.
Hasil dari
kesepakatan untuk kunjungan wisata mendaki gunung adalah sebuah gua di
kecamatan Walenrang. Kami memilih Gua Puang Massawae di Desa Tombang Kabupaten
Luwu. Seluruh dari kami tak satupun yang bpernah menginjakkan kaki di gua
tersebut. Ada rasa khawatir yang menyelinap ke dalam relung jiwa seluruh
anggota, namun dengan semangat dari ketua membuat nyali seluruh anggota kembali
bersinar. Ketua sudah memiliki salah seorang warga untuk membimbing kami
melintasi gua itu.
Sebelum berangkat
seperti biasanya kami mendengar arahan dari sang ketua dan kemudian berdoa.
Hari itu kami berangkat menuju lokasi dengan berjalan kaki sepanjang 20 KM.
Rasa lelah sering menyerang setiap langkah. Semangat yang mengantar seluruh
anggota menjadi kuat.
Aku dan rekan
pecinta alam yang lain tiba di Desa Tombang dengan selamat namun penuh rasa
lelah. Sejenak merebahkan tubuh sambil menunggu arahan dari salah seorang warga
yang bersedia menemani kami menyusuri gua. Dalam penat pikiranku tiba-tiba
tertuju pada beberapa bungkusan yang berisi makanan dalam tas. Tanpa pikir
panjang aku dan teman-teman menyantap bersama.
“Semua siap,
sekaranglah saatnya kita melangkahkan kaki menaklukkan alam untuk bersahabat
dengan kita.” Teriakan semangat dari sang ketua.
“Siap, alam adalah
sahabat kita semua.” Semua meneriakkan semangat.
“Baiklah sebelum
berangkat mari kita berdoa demi keselamatan kita semua.”
Semua melangkah
dengan hati berbunga-bunga karena perjalanan ini akan menambah sejarah dalam
hidup kami semua. Dalam langkah aku menyaksikan panorama alam yang sangat
indah. Pohon berdiri dengan tegak, rumput hijau segar menyapaku dengan
senyuman. Diriku begitu menyatu dengan alam sahabat hidupku selama ini. Untuk
mencapai tujuan kami harus melewati rintangan jalan berbatu dan menanjak tajam
dengan jurang disampingnya. Berbahaya memang, tapi pengalaman membuat semua
kami taklukkan.
Perjalanan panjang
penuh rintangan itu berakhir setelah kami memandang batu besar di hampir
seluruh sudut gunung yang memancarkan pesonanya. Gua Puang Massawae melebihi
keindahan alam yang pernah kami sakasikan sepanjang hidup. Semua memuji
keindahan yang ditampakkan oleh alam ini. Rasa kagum tak hentinya terlontar
dari mulut seluruh yang menyaksikannya.
Kami dituntun masuk ke dalam dengan hati-hati. Aku mendengar suara
kehidupan ketika mulai menginjakkan kaki ke dalam gua itu. Beberapa jenis
binatang hidup dalam gua itu. betapa herannya aku ketika melihat beberapa ekor
monyet yang dengan riangnya bermain di dalam gua. Tak ketinggalan beberapa ekor
ayam yang terbang menyusuri gelapnya gua. Aku hendak memberitahukan kepada
teman-teman yang lain bahwa aku menyaksikan sesuatu yang langka. Aku kagum
dibuatnya.
Berniat menyapa teman-teman yang sedari tadi berjalan beriringan
aku tiba-tiba dikagetkan oleh kesunyian. Tak satupun yang terlihat, pikirku
mungkin semua berjalan cepat jadi aku ketinggalan karena sedang asyik melihat
pesona yang ada. Aku memutuskan untuk terus berjalan mengejar rekanku yang
telah lebih dahulu melangkah. Waktu terus berlalu, aku terus berjalan namun tak
seorangpun aku temukan. Perasaan khawatir mulai menyelimuti rasaku, kini aku
sendiri dalam gelap.
Aku mulai merasakan panas yang dikeluarkan gua itu, keringat
mengucur deras dari tubuhku. Cahaya senter yang sudah berjam-jam menerangiku
perlahan mulai redup, tak ada persediaan yang lain selain senter itu. Takut
menyerang jiwaku. Tak bisa ku bayangkan berada dalam gelap seorang diri. Aku
terus berjalan dan terus berjalan. Cahaya senter tiba-tiba menghilang, kini aku
berteman dengan kegelapan. Aku berhenti kemudian duduk meratapi nasib yang
menimpaku. Ingin kembali tapi terlanjur jauh dan gelap.
Dalam kegelapan aku melihat sedikit cahaya dari kejauhan yang
tampak menuju ke arahku. Rasa takut mulai surut dari diriku ketika disapa oleh
sosok tua yang melangkah dengan tegak membawa cahaya yang entah darimana.
Seluruh tubuhnya terang, aku mencari-cari asal pncaran cahaya itu namun tak jua
ku temukan. Sosok orang tua dengan jenggot putih tebal mengenakan baju muslim
dilengkapi kopiah hitam itu begitu ramah menyapaku.
“Apa muala inde’te
kallolo1 ?” Tanya orang tua itu dengan bahasa tae-tae asli Desa
Tombang. Beruntung aku menguasai bahasa itu karena kebanyakan teman sering
berbicara menggunakan bahasa itu ketika sedang berkumpul. Kakek tua itu
menanyakan apa yang sedang ku lakukan di gua itu.
“Rampona mendaki,
nasaba’ pecinta alamna akunna2.” Jawabku.
“Bacaki’
istigfar.” Usai mengucapkan kata itu orang tua itu menghilang. Kembali aku
berada dalam kegelapan. Segera aku menuruti kata orang tua tadi. Aku membaca
istighfar berkali-kali sambil menutup mata. Betapa kagetnya aku saat membuka
mata. Aku berada dalam sebuah rumah yang begitu besar dan megah. Aku kemudian
mengucapkan istighfar dengan menutup mata, saat membuka mata kembali aku berada
di tempat lain. Kali ini aku berada di sebuah hutan. Yang terlihat hanya
beberapa ekor monyet dan ayam seperti yang ku lihat ketika masih berada di gua
itu. Berkali-kali aku mencoba memejamkan mata sambil membaca istighfar, namun
kali ini aku tetap berada di hutan.
Kala itu aku hidup
sendiri, mencari makan dari buah yang ada dalam hutan tersebut. Aku membuat
rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggal. Pasrah adalah pilihan yang ku jalani.
Tiap saat aku memohon kepada Tuhan agar aku kembali ke duniaku yang dulu
bersama keluarga. Kini aku sendiri. Hari demi hari aku lewati dalam
kesendirian.
Hingga suatu saat
aku berjalan mencari makan tak sadar tiba-tiba aku sudah berada di depan pintu
masuk gua yang telah membuatku tersesat. Ingin masuk tapi rasa takut
menyelimutiku. Aku mencoba mengingat jalan pulang kembali ke desa namun semua
telah hilang dalam benakku. Aku menyusuri sekitar gua untuk mengingat jalan
pulang. Di tengah kesibukanku mencari datang seorang berwajah agak seram dengan
badan yang besar, orang itu menyapaku. Aku menjelaskan semua yang terjadi
kepadaku. Orang itu mengantarku kembali ke Desa Tombang.
Hari itu aku
disambut warga dengan perasaan senang. Banyak yang bertanya tentang apa saja
yang terjadi denganku selama menghilang. Aku tersesat di dalam gua kemudian
tinggal di hutan selam satu bulan. Konon yang membuatku tersesat adalah saat
aku melihat beberapa ekor binatang kemudian menegurnya bahkan menyentuhnya. Aku
melanggar perkataan dari seorang warga yang menuntun kami masuk ke gua itu
bahwa jika melihat sesuatu yang aneh jangan menegurnya karena akan berdampak
negatif pada diri sendiri. Aku kembali menjalani hariku bersama keluarga dan
rekan pecinta alam yang telah sebulan khawatir mencariku.
Kini sepuluh tahun
berlalu kembali aku merindukan gua itu. Gua Puang Massawae.
Irwandi Fahruddin
5 Februari 2012
No comments:
Post a Comment